Tuesday, April 11, 2017 | 5:34 PM | 0 comments
Review
Jurnal Komunikasi
“Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia”
Penulis : Rachmat Kriyantono & Bernard McKenna
“Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia”
Penulis : Rachmat Kriyantono & Bernard McKenna
Tulisan
ini berisi hasil review saya terhadap jurnal “Developing a Culturally-Relevant
Public Relations Theory for Indonesia” yang ditulis oleh Rachmat Kriyantono
& Bernard McKenna. Tujuan review ini adalah untuk mengetahui studi public
relations dan prakteknya melalui perspektif Indonesia, merangsang perkembangan
teori public relations dengan mengadopsi kearifan lokal Indonesia, sebagai kolaborasi
teoritis Indonesia-Barat, dan refleksi kritis pada teori Barat.
A.
Public Relations sebagai Disiplin Ilmiah Baru
Dalam
jurnal dikatakan bahwa keberadaan Public Relations adalah setua peradaban
manusia karena kebutuhan individu untuk membujuk orang lain (Kriyantono, 2014;
Newsom, Scott, & Turki, 1993). PR juga merupakan aktivitas yang terjadi di
mana-mana (obiquitos activity) (Horsley, 2009), karena “prinsip bisnis public
relations telah dikenal, dipelajari, dan dipraktikkan selama berabad-abad.”
(Leahigh, 1993, hal. 24). Menurut Edward Bernays dan Edward Robinson, public
relations merupakan ilmu sosial dan terapan karena mengintegrasikan unsur-unsur
teoritis dan praktis.
Dari
pendapat-pendapat diatas, saya menilai bahwa public relations sebagai disiplin
ilmu lebih berfokus pada practical. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Ardianto dan Skerlep bahwa studi akademis public relations sering lebih
berfokus pada kegiatan-kegiatan praktis yang dikenal dengan PR sebagai praktek
atau sebagai alat (Ardianto, 2004; Skerlep, 2001).
Public
Relations berkembang menjadi disiplin komunikasi terapan selama 25 tahun
terakhir, yaitu praktek komunikasi perusahaan dan secara teoritis dan research
based area (Botan & Hazleton, 2009; Ihlen & Ruler, 2007, 2009). Dalam
jurnal ini dikatakan bahwa public relations telah meminjam atau mengadaptasi
banyak teori-teori dari disiplin lain. Oleh karena itu, public relations sebagai
disiplin ilmu belum dikatakan sebagai ilmu yang matang. Kebutuhan Public
Relations untuk menjadi ilmu bukan hanya sebuah profesi, mulai sejak
pertengahan tahun 1970-an (Sisco et al., 2011).
B.
Dominasi Public Relations dalam Perspektif Barat
Saya
menemukan hasil penelitian dalam jurnal tersebut, yang pertama adalah Penelitian
Dissanayake (1988) di negara-negara Asia Tenggara yang mengungkapkan bahwa 71
persen dari bahan yang digunakan dalam kursus pengajaran teori komunikasi berasal
dari Amerika. Dalam studi lain di Asia Selatan, Dissanayake menemukan
persentase yang lebih tinggi, yaitu 78 persen. Selain itu, tidak ada ilmuwan
Asia berada di daftar ketika Rogers (1997) menulis sejarah studi komunikasi:
semua berasal dari Amerika Serikat dan Eropa.
Dari
pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa saat ini pengajaran teori komunikasi
berfokus pada perspektif barat dan telah didominasi oleh Barat. Oleh karena itu
ilmuwan Asia harus mulai menulis karya ilmiah mengenai fenomena komunikasi.
Bahkan dalam Buku “Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal” yang ditulis
oleh Rachmat Kriyantono, dikatakan bahwa dari 27 teori public relations yang berasal
dan teori-teori yang dipinjam, tidak ada satupun dari teori-teori tersebut yang
berasal dari perspektif Timur atau Indonesia (Kriyantono, 2014).
Beberapa
negara Asia telah menciptakan teori-teori komunikasi dari perspektif mereka
sendiri, seperti Teori Komunikasi Cina, Teori Komunikasi India, Teori Harmony
Chinese, Teori Komunikasi Konghucu, Teori Kuuki Jepang, dan Teori Komunikasi
Tao. Akan tetapi tidak ada teori tunggal yang muncul dari perspektif Indonesia.
Selain itu, para ilmuwan Barat telah menemukan kesulitan dalam memperoleh karya
ilmiah Indonesia tentang fenomena komunikasi dalam konteks Indonesia termasuk public relations. Tidak banyak
ilmuwan Indonesia mengeksplorasi kearifan lokal sebagai dasar untuk membangun
teori-teori komunikasi yang relevan dengan konteks Indonesia (Raharjo, 2013).
Saya
menilai bahwa di Indonesia masih belum banyak ilmuwan yang menulis karya ilmiah
atau mengungkapkan kearifan local dikarenakan banyak peneliti yang memiliki
pola berpikir kearah Barat. Hal ini juga sesuai dengan yang disampaikan dalam
jurnal yaitu dominasi perspektif Barat telah disebabkan oleh lima faktor, salah
satunya adalah keterlambatan pendidikan pribumi Indonesia karena penjajahan
selama berabad-abad (sekitar 350 tahun) telah memberikan pengaruh kolonisasi
yang mendalam. Kolonisasi ini telah mempengaruhi pola berpikir dengan
memberlakukan penelitian dengan lensa Barat (Achmad, 2012). Yusoff dan Hanafiah
(2015) juga menyatakan bahwa perspektif Barat telah mempengaruhi perspektif
lokal melalui pendidikan, hiburan, dan teknologi komunikasi.
C.
Kearifan Lokal
Sebelum
membicarakan mengenai kearifan local dalam kegiatan public relations, kita
harus mengetahui pengertian kearifan local itu sendiri. Dalam jurnal
diungkapkan bahwa kearifan lokal adalah pengalaman lokal dan ide-ide dari
kebijaksanaan dan kebaikan nilai-nilai yang terinternalisasi di antara generasi
dalam suatu masyarakat tertentu (Radmilla, 2011). Nilai-nilai tersebut tertanam
sebagai moral yang dipatuhi oleh masyarakat sebagai dasar harmoni. Kearifan
lokal dikembangkan dari kesadaran komunal yang muncul dari interaksi sosial
yang diakumulasi dan mengkristal menjadi doktrin moralitas (kode etik).
Dalam
kegiatan public relations, kearifan lokal harus menjadi dasar untuk
mengembangkan kegiatan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) dan
pemasaran sosial perusahaan, kegiatan yang melakukan hal-hal yang baik dan
bermakna bagi masyarakat.
Dalam
jurnal, terdapat lima tema yang muncul dari kearifan local di Indonesia,
sebagai berikut:
a.
Musyawarah mufakat sebagai penentuan keputusan di Indonesia
Public
relations memfasilitasi penyebaran informasi kepada masyarakat secara langsung
dan berbicara kepada manajemen tentang kebutuhan masyarakat. Fungsi komunikasi
sebagai negosiasi dan kompromi alat untuk menciptakan solusi yang saling
memuaskan. Model tersebut sesuai dengan perspektif Indonesia yaitu musyawarah
mufakat/rembugan, pengambilan keputusan dengan dialog.
Menurut
Pancasila, lima filosofi dasar prinsip dimasukkan ke dalam konstitusi
Indonesia, musyawarah mufakat, adalah strategi utama untuk membuat keputusan
daripada voting. Ini adalah kebalikan dari kekuasaan mayoritas yang terjadi di sebagian
besar negara perspektif Barat di mana bentuk proses demokrasi lebih mewakili
berbagai pendapat. Saya menilai bahwa musyawarah mufakat menjadi suatu kearifan
local yang harus dibahas dalam penelitian public relations perspektif Timur
karena sesuai dengan kegiatan public relations.
b.
Menjaga hubungan timbal balik yang didasarkan pada harmoni dalam sistem
Sebagai
bagian dari sistem sosial, proses public relations harus mengarahkan organisasi
untuk mencapai harmoni dalam sistem di mana ia beroperasi. harmoni ini dikenal
sebagai runtut raut sauyunan, yaitu hidup rukun dan damai bersama-sama.
Sebuah
strategi komunikasi yang berhubungan dengan masyarakat dari perspektif
Indonesia bisa dilakukan dengan menerapkan pepatah dari silih asah, silih asih,
silih asuh (mengajar, cinta, dan menjaga satu sama lain). Hasil asah silih
dalam memberikan informasi secara teratur melalui dua saluran timbal balik.
Informasi ini terdiri dari setiap upaya untuk mendidik dan memotivasi
masyarakat untuk mendukung organisasi. Namun, sebelum menyebarkan informasi, PR
harus mengeksplorasi kebutuhan masyarakat dengan melakukan penelitian. Itu
sebabnya, silih asah merangsang hubungan masyarakat untuk melakukan kegiatan
berdasarkan rasional-ilmiah: penelitian dan dialog sehingga PR “berdasarkan
fakta” (Newsom et al., 1993).
c.
Perspektif Indonesia mengenai Deklarasi Prinsip (Tell the truth)
Mengatakan
sesuatu berdasarkan prinsip kebenaran adalah dasar dalam praktik public
relations untuk membangun kepercayaan (J. E. Grunig & Hunt, 1984; Lattimore
et al, 2007.). Perspektif Indonesia mengatakan ajining diri dumunung ana ing lathi dan basa iku busananing bangsa,
yaitu kehormatan pribadi adalah pada kata-kata seseorang. Dengan memberikan
terbuka, informasi yang benar, sebuah organisasi akan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat akan informasi dan untuk mendapatkan kepercayaan publik yang akan
merangsang dukungan publik dan kerjasama. Saya menilai bahwa hal ini harus
ditanamkan oleh setiap praktisi public relations, bahwa informasi yang jelas
dan benar akan mampu menarik kepercayaan public.
d.
Blusukan sebagai alat fasilitator komunikasi
Blusukan
mirip dengan konsep Barat “managing by walking around” karena fungsi mereka
adalah gethok tular; Namun perspektif
Indonesia lebih berfokus pada aspek emosional, seperti sambung roso, untuk
membangun hubungan. Dengan melakukan blusukan, public relations mampu
menghasilkan gethok tular (komunikasi word of mouth) secara langsung untuk
menyebarkan informasi dari manajemen untuk meminimalkan kesalahan persepsi.
Secara internal, public relations ditempatkan untuk menghentikan rumor yang
tidak akurat yang menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut dalam sebuah organisasi.
Saya
menilai bahwa pernyataan tersebut sesuai dengan keadaan praktik saat ini bahwa
rumor yang terjadi dalam organisasi mampu menyebar secara cepat dari mulut ke
mulut secara langsung ataupun media sosial. Oleh karena itu, diperlukan public
relations untuk memonitor lingkungan dan membangun hubungan dengan publik.
D.
Perspektif Lokal Terhadap Dua Preposisi Dasar
Dalam
jurnal dikatakan bahwa Public Relations memiliki dua proposisi: (1) Public
relations sebagai fungsi manajemen; (2) PR bertanggung jawab untuk mengelola
hubungan antara organisasi dan publik.
Indonesia
memiliki karakteristik Asia yang menekankan tanggung jawab timbal balik antara
individu dan masyarakat, selaras dengan lingkungan, dan dengan asumsi bahwa
dunia adalah saling berhubungan dan saling tergantung secara keseluruhan.
Selama berabad-abad, banyak dari kearifan lokal Indonesia telah didasarkan pada
pentingnya adaptasi dan penyesuaian, seperti jip kang sui suan, jip koi sui
nyak, (Jika Anda memasukkan sungai untuk berenang atau pengiriman, Anda harus
mengikuti kurva, memasuki desa mengikuti adat istiadat; sai bumi Ruwa jurai
(satu bumi untuk dua komunitas yang berbeda); teposliro (perasaan empati); dima
nagari diunyi, disitu Dipakai adat (di mana pun Anda tinggal, Anda harus
mengikuti adat istiadat)
Oleh
karena itu, dalam kearifan local Indonesia berarti bahwa individu harus
menghormati budaya lokal tanpa kehilangan budaya sendiri, agar berhasil
beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan. Organisasi harus mengembangkan
teposliro (sikap merasakan perasaan publik). Prinsip teposliro diwakili dalam
rumongso pepatah ojo biso, kudu biso rumongso (Jangan merasa bahwa Anda bisa,
tetapi Anda harus dapat merasakan). Saya menilai bahwa prinsip ini harus
ditanamkan pada praktisi public relations bahwasanya public relations harus
dapat merasakan apa yang dirasakan oleh publik, memiliki kepedulian terhadap publik
termasuk juga lingkungan sekitar tempat perusahaan itu berada.
E.
Penutup
Secara
umum, tulisan Kriyantono dan McKenna telah memberikan pengetahuan baru tentang kearifan
local di Indonesia dan kaitannya terhadap Public Relations dalam perspektif Timur.
Artikel ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan teori public relations dari
perspektif Timur, khususnya Indonesia. Dapat dibuktikan bahwa public relations
dalam konteks Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan kearifan lokal.
Agar
lebih bisa memberikan deskripsi yang lebih mendalam, saya merekomendasikan Buku
berjudul “Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal” yang ditulis
oleh Rachmat Kriyantono.
Daftar Pustaka
Kriyantono,
R. & McKenna B. (2017). Developing a Culturally-Relevant Public
Relations Theory for Indonesia. Malaysian Journal of Communication, 33(1):
1-16
Kriyantono,
R. (2014). Teori public relations, perspektif barat dan lokal .
Jakarta: Prenadamedia