Resume Theories of Public Relations & Jurnal Komunikasi “Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia”
Theories of Public Relations
Teori Sistem
Teori Sistem diadopsi dari biologi yang digagas oleh
Ludwig van Bertanaffy pada 1940-1950an. Beliau mengatakan pentingnya
salingketerhubungan antara semua elemen tubuh. Setiap manusia atau sistem
sosial seperti organisme fisik, living organism, ekonomi, efek media pada
khalayak, dan sistem matemarika dikelilingi oleh batas-batas yang cair, yang
memungkinkan saling perngaruh dan tidak hidup secara terisolasi (Hearg,
2005;Krippendorf, 2008). Dari biologi teori sistem berkembang menjadi teori
interdisipliner dan diadopsi beberapa pakar bidang ilmu yang berbeda.Teori
sistem adalah sebuah dasar kehidupan manusia yang saling berhubungan, bagaimana
sistem dalam suatu relasi itu bersifat dinamis dengan system lainnya
(Kriyantono, 2014, h.77). Teori ini juga
mengajarkan pentingnya menjalin hubungan sosial yang baik dalam suatu
organisasi terhadap publiknya dan saling mempengaruhi. Praktisi Public
Relations dapat menjadikan teori ini sebagai dasar menjalin hubungan dengan
publiknya. Hal tersebut dikarenakan public relations memiliki kemampuan
mempengaruhi berfungsinya keseluruhan sistem organisasi (Laborde, 2005)
Adapun sebagai sistem, organisasi memiliki
karakteristik yaitu:
a. Keseluruhan dan saling bergantungan (Wholeness
and Interdependence)
Organisasi adalah satu kesatuan yang saling berhubungan dan ketergantungan.
Jika salah satu sistem tidak berfungsi dengan baik maka sistem-sistem yang lain
akan terganggu.
b. Hierarki (Hierarchy)
Suatu Sistem terdiri suatu sistem yang lebih besar (sub sub sistem dan
suprasistem). Dalam organisasi yaitu sistem yang terdiri dari beberapa
subsistem seperti: departemen public relations,
marketing, keuangan, human resources. Masing masing departemen terdiri
dari suprasistem seperti department
public relations adalah supra dari eksternal relations, dan internal relations.
c.Peraturan sendiri dan control (Self
regulation and control)
Aktivitas sistem diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (sistem mengatur
perilakunya dalam mencapai tujuan tersebut.) wujudnya berupa peraturan berupa SOP (standars operational procedures).
Seperti contoh, departemen public relations mempunyai aturan mengenai membuat
press release, membuat konferensi pers.
d. Pertukaran dengan lingkungan (Interchange with the environment)
sistem berinteraksi dengan lingkungan nya atau saling mempengaruhi satu sama
lain. Adanya input dan output dari hasil interaksi komunikasi.
e.Keseimbangan (balance)
keseimbangan akan dapat dicapai jika suatu system berfungsi dengan baik. Sistem
yang berfungsi dengan baik disebut homeostatis atau ekuilibrum. Kondisi
ekuilibrium bagi organisasi berart isetiap susbsistem (departemen dan staf)
melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik untuk mendukung eksistensi
organisasi secara keseluruhan.
f. Perubahan dan kemampuan adaptasi (change and adaptability)
untuk mencapai keseimbangan, system harus memiliki kemampuan dalam menyesuakian sistem terhadap
lingkungan. Seperti contoh, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku
konsumen, perubahan daya kritis konsumen.
g. Sama tujuan (Equifinality)
sistem memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan bentuk visi misi yang mengarahkan
perilaku setiap anggota sistem. (Kriyantono, 2014)
Berdasarkan
teori sistem ini, aktivitas public relations melekat pada semua elemen sistem.
Bagaikan tubuh manusia, jika tangan sakit maka bagian tubuh lainnya ikut
merasakan. Jika karyawan berulah negative maka manajemen akan terkena imbasnya
(Kriyantono,2012a:10)
Boundary Spanning
Boundary spanning merupakan
istilah fungsi public relations sebagai penghubung antara organisasi dengan
lingkungannya. Public relations berinteraksi dengan lingkungannya untuk
monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Kemudian informasi tersebut
disampaikan kepada kelompok dominan dalam organisasi. Fungsi “boundary spanning”
dapat dikatakan sebagai aktifitas “gate keeper”.
Aktivitas pelaksanaan boundary spanning yang
dilakukan oleh praktisi public relations antara lain:
1. Menjelaskan informasi tentang organisasinya
kepada publik (lingkungannya). Praktisi public relations harus menginterpretasi
filosofi, kebijakan, program, dan apa yang dipikirkan manajemen agar dapat
dimengerti oleh publiknya. Informasi ini merupakan input bagi publik.
Selanjutnya, praktisi public relations menyeleksi, menerima, dan menyampaikan
informasi dari publik kepada organisasi. Ini adalah umpan balik dan merupakan
input bagi organisasi.
2. Memonitor lingkungan sehingga mengetahui apa yang
terjadi dan menginterpretasi isu-isu yang potensial memengaruhi aktivitas
organisasi dan membantu manajemen merespons isu-isu tersebut melalui aktivitas
isu manajemen. Di sini praktisi public relations bertindak sebagai mitra
manajemen untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang mungkin
muncul.
3. Membangun sistem komunikasi dua arah dengan
publiknya agar organisasi dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Praktisi
public relations merupakan seorang fasilitator komunikasi.
Relationship Management Theory.
Teori Relationship Management merupakan teori
penting dari public relations, karena terkait dengan fungsi dasar public
relations, yaitu aktivitas komunikasi yang menguhubungkan organisasi dan
public. Teori ini focus membahas proses memanajemen relasi antara organisasi
dan publiknya, internal maupun eksternal, karenanya teori ini juga dikenal
sebagai pusat atau inti public relations. Teori ini juga dikenal sebagai teori
organization-public relationship (OPR), karena dalam praktik public relations ,
komunikasi ditunjukan untuk menjaga keuntungan yang bisa dirasajab para peserta
komuunikasi, organisasi, dan public, yaitu ada suatu keseimbangan kepentingan
antara keduanya.
Dalam tulisan Ledingham (2006) dan Waters (2008),
dapat disampaikan beberapa metode pengukuran. Metode yang paling banyak
digunakan yaitu metode yang ditawarkan
How&Grunig berisi empat dimensi yaitu : kepercayaan (trust), komitmen,
kepuasan (satisfaction), dan control kesamaan (control mutuality).
Teori Matematika Komunikasi, Uncertainty Reduction
Theory
Claude
Shannon dan Warren Weaver membuat model yang dipublikasikan melalui buku The
Mathematical Theory of Communication pada 1949. Teori ini mengambarkan proses
komunikasi antarmanusia sebagai proses transmisi yang linier antara komunikator
kepada komunikan. Dalam model ini,
Shannon-Weaver mengenalkan beberapa konsep yang saling berkaitan, yaitu konsep
gangguan (noise), transmiter, sumber (source), signal, receiver, destination,
entropi, dan informasi.
Model
Shannon dan Weaver mengasumsikan bahwa sumber informasi menghasilkan suatu
pesan untuk dikomunikasikan dari separangkat pesan yang dimungkinkan. Pesan itu
bisa dalam bentuk kata lisan atau tulisan, musik, gambar, dan lain sebagainya.
Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi suatu sinyal yang sesuai dengan
saluran yang digunakan. Saluran (Channel) adalah medium yang mengirimkan sinyal
(tanda) dari transmitter ke penerima (receiver). Dalam percakapan, sumber
informasi adalah otak, transmitter-nya adalah mekanisme suara yang menghasilkan
sinyal (kata-kata yang terucap), yang ditransmisikan lewat udara (sebagai
saluran). Penerima (receiver), yakni mekanisme pendengaran, melakukan operasi yang
sebaliknya yang dilakukan transmiter dengan merekonstruksi pesan dari sinyal.
Sasaran (distination) adalah (otak) orang menjadi tujuan pesan itu.
(Mulyana,2003). Konsep lain yang merupakan yang merupakan andil Shannon dan
Weaver adalah entropi (entrophy) dan redundansi (redundancy) serta keseimbangan
yang diperulukan di antara keduanya untuk menghasilkan komunikasi yang efisien
dan pada saat yang sama mengatasi ganguan dalam saluran.
Uncertainty Reduction Theory
Teori pengurangan ketidakpastian diciptakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada
tahun 1975. Teori ini menjelaskan
bagaimana cara manusia
mengumpulkan informasi untuk mengurangi ketidakpastian yang dialami.
Ketidakpastian diartikan sebagai ketidakmampuan individu untuk memprediksi atau
menjelaskan perilakunya dan perilaku orang lain (Kriyantono, 2014). Tujuan
komunikasi yaitu untuk mengurangi ketidakpastian, karena itu kita berusaha mengurangi
ketidakpastian dengan cara mencari informasi. Komunikasi dapat dipahami sebagai alat untuk mengurangi
ketidakpastian. Fungsi komunikasi dalam hal ini adalah untuk mendapatkan
informasi, dan untuk membuat prediksi atau penjelasan tentang makna perilaku
lawan bicara.
Tugas pokok public
relations yaitu menciptakan citra positif dan mendukung reputasi positif
organisasi di mata publiknya. Citra positif dapat terbentuk apabila public mempunyai
persepsi yang positif terhadap organisasi. Persepsi ini harus lengkap sehingga
tidak menimbulkan salah persepsi. Publik harus dalam kondisi kecukupan
informasi agar tidak ada kesenjangan informasi antara organisasi dengan
publiknya.
Berdasarkan teori
uncertainty reduction, Heath (2005) menyarankan praktisi public relations untuk
meminimalkan ketidakpastian dengan strategi
a. Mengumumkan berbagai perubahan sedini mungkin
bagi semua publik terlibat.
b. Memfasilitasi partisipasi staf dalam proses
pengambilan keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah.
c. Menjaga agar aliran informasi terjadwal dengan
baik.
d. Apabila tidak dapat menyediakan informasi dengan
baik, public relations harus dapat menjelaskan alasannya.
e. Menjelaskan segala kebijakan atau keputusan yang
diambil manajemen, termasuk alasan keputusan tersebut.
f. Menjaga kepercayaan publik terhadap organisasi.
Teori excellence dan Contingency of Accomodation
Theory
Teori
excellence diperkenalkan oleh James Grunig dan Hunt dalam buku Managing Public
Ralations. Teori Excellence berangkat dari empat model PR (Press Agentry,
public information, two way assymetrical,dan two way symmetric theory) dan
teori situasional of the public dengan lebih menekankan pada aspek negosiasi dan
kompromi.
Teori excellence menganggap public relations bukan
lagi sekedar berperan sebagai alat persuasif atau sebagai teknisi komunikasi
untuk menyebarluaskan komunikasi. Namun public relations dianggap sebagai ahli
yang melaksanakan peran sebagai manajer yang menggunakan penelitian dan dialog
untuk membangun hubungan yang sehat dengan publiknya.
Teori excellence mendapat kritik dari pakar yang
menilai model normatif ini sulit ditemukan dalam praktik public relations.
Pakar-pakar tersebut adalah Cameron, dkk. (2001), Cancel, dkk. (1997), Reber
& Cameron (2003). Pengkritik tersebut menilai sulit bagi organisasi yang
hanya berfokus menerapkan model two-way symmetric dan menawarkan teori baru
yaitu contingency theory of accommodation in public relations (teori CA), yang
berpendapat bahwa two-way symmetric dan win-win solution sulit diterapkan
sebagai bentuk ideal. Karena dalam kenyataan factor aturan atau legal sering
tidak memungkinkan public untuk menang. Sebaliknya, organsasi yang memosisikan
dirinya pada suatu kontinum antara bersikap akomodasi dan bersikap advokasi
saat berhadapan dengan publiknya.
Teori ini menunjukkan bahwa public relations
berkontribusi dalam membangun hubungan yang baik dengan lingkungannya. Dan
kualitas public relations dapat diukur dengan cara mengevaluasi kualitas
hubungan antara organisasi dan publiknya yaitu serial terus-menerus yang secara
perlahan membuat kedua pihak terintegrasikan sehingga sulit menentukan titik
awal dan akhir hubungan. (Kriyantono, 2014, h. 105-110)
Agar dapat menghasilkan proses public relations yang
excellence, teori ini memberikan 10 premis atau prinsip excellence atau factor
excellence. Premis yang merupakan hasil dari penelitian terhadap 327 organisasi
di tiga negara yang kemudian hasilnya dianalisis menggunakan teori komunikasi,
public relations, manajemen, psikologi organisasi, sosiologi organisasi,
psikologi social, psikologi kognisis, feminism, ilmu politik, pembuatan
keputusan dan budaya (Grunig, dkk., 2008, dikutip di Kriyantono, 2014).
Contingency of Accomodation Theory merupakan
pelengkap dari teori excellence. Teori CA ini secara umum menjelaskan tentang
hubungan organisasi dan publiknya tidak dapat benar-benar mencapai posisi
two-way symmetric seperti yang ditawarkan dalam teori excellence. Praktik
public relations bergerak pada suatu kontinium antara advokasi bagi organisasi
atau klien dan akomodasi total bagi publiknya (Cameron, dkk dalam Kriyantono,
2014, h.119) Win-win solution yang ditawarkan model two-way symmetric tidak
selamanya menjadi tawaran yang ideal bagi organisasi. Hal ini dikarenakan, ada
beberapa faktor yang membuat model symmetric sulit untuk diterapkan dalam
praktiknya, misalnya beberapa hal yang berkaitan dengan aturan hukum, sehingga
tidak memungkinkan seorang public relations untuk memberitahukan hal tersebut
kepada publik (Kriyantono,2014, h.120). Akomodasi yaitu penyesuaian diri terhadap lingkungan, mencakup
kemampuan untuk berkolaborasi dengan pihak lain. Advokasi dapat diartikan
sebagai upaya memberikan dukungan dan pembelaan terhadap kebijakan organisasi,
jadi seorang PR layaknya penasihat hukum membela kliennya. Dikatakan
kontingensi karena antara bersikap akomodasi dan advokasi, seorang PR di
pengaruhi oleh faktor-faktor kemungkinan sehingga bersifat situasional. Seorang
PR harus menyeimbangkan antara akomodasi dan advokasi, karena jika PR lebih
fokus melakukan advokasi maka dapat dikatakan bahwa seorang PR telah melakukan
proses memanipulasi publik (Kriyantono, 2014, h. 121). Public relations pada
saat tertentu dapat menerapkan strategi secara bergantian, bersikap akomodatif
atau advokatif tergantung variable internal dan eksternal yang mana yang
dominan.
Situational Theory of The Publics
Penggagas teori ini adalah James E. Grunig yang
mendeskripsikan sikap dan perilaku komunikasi dari public terhadap organisasi. pengagas
teori ini menggunakan istilah publics dengan s (jamak) untuk merujuk kepada
kelompok yang menjadi sasaran program public relations, antara lain jurnalis,
karyawan, investor, konsumen, pemerintah atau komunitas lokal. Teori
situasional membantu menjelaskan mengapa sekelompok orang aktif pada isu
tertentu, yang lainnya aktif dalam banyak isu sementara yang lain bersikap
apatis (Lattimore, 2010). Menurut ( Heath, 2005( dikutip di Kriyantono, 2014)
bahwa teori STP bersifat situasional karena masalah atau isu datang dan pergi
dan menimpa hanya pada orang-orang yang mengalami situasi problematik terkait
aktivitas organisasi.
Public Relations dapat menggunakan teori ini untuk
mengidentifikasi dan mengelompokkan publik berdasarkan persepsi, sikap, dan
perilaku publik terhadap organisasi, baik terhadap programnya, produk, maupun
ketika terjadi situasi krisis. Secara umum teori ini menyatakan bahwa publik
memiliki pengetahuan (knowledge) atau kesadaran (awareness) , sikap, dan
perilaku tertentu terhadap organisasi (Kriyantono, 2014, h.152). Sedangkan, Menurut
Grunig (1979:741), teori situasional of the publics (STP) mempunyai beberapa
asumsi dasar, yaitu 1.Persepsi seseorang pada suatu situasi akan menentukan
kapan dia merespons, mengapa dia merespons, bagaimana cara dia merespons dan
mengkomunikasikan situasi tersebut.
2. Individu yang berbeda diasumsikan mempunyai
perilaku yang lebih konsisten
3. Setiap individu akan berusaha beradaptasi dengan
suatu situasi dalam cara tertentu
4. Publik yang bersifat situasional tergantung pada
situasi yang dihadapi. Untuk isu tertentu seseorang secara aktif mencari
informasi tetapi untuk isu yang lain dia memilih pasif, hal ini tergantung pada
seberapa besar isu mempengaruhi kepentingannya.
5. Karena bersifat situasional, masalah atau isu
bersifat dinamis, maka publik pun bersifat dinamis.
Praktisi public
relations dapat merencanakan strategi komunikasinya lebih akurat dan efektis
jika mengetahui seberapa aktif publik dalam mencari informasi (Lattimore, dkk.,
2007). Teori STP dapat dijadikan acuan bagi praktisi public relations untuk
bersikap lebih etis dalam kampanyenya. Karena teori ini membagi publik ke dalam
beberapa kategori, sehingga kampanye public relations diharapkan dapat
memengaruhi mereka menjadi aktif.
Teori strukturasi
Teori Strukturasi digagas oleh Anthony Giddens pada
1984 (Falkheimer, 2007) dan dibangun berdasarkan teori interaksi sosial.
Giddens membangun teori ini berdasarkan pandangannya bahwa individu mempunyai
kemampuan mengubah struktur sosial. Menurut giddens, individu bebas dalam
memilih perilaku komunikasinya sehingga memengaruhi terciptanya struktur
tertentu. Komunikasi dalam suatu sistem sosial merupakan hasil produksi
perilaku komunikasi individu dan struktur sosial perilaku sosial. Komunikasi
dalam suatu sistem sosial juga terbentuk dari hasil perpaduan perilaku
komunikasi individu dan struktur sosial. Perilaku sosial termasuk perilaku
komunikasi sosial, terbangun dari hasil strukturasi, yaitu proses memproduks
dan mereproduksi struktur yang dilakukan melalui interaksi sosial.
Adapun funsgsi struktur bagi suatu organisasi
(Daiton & Zelley, 2015 : 182 dalam Kriyantono, 2014 : 236):
Struktur menyediakan berbagai sarana koordinasi dan kontrol.
Struktur membantu anggota organisasi mendefinisikan identitas mereka di dalam
organisasi.
Struktur menyediakan sarana untuk memonitor prestasi kerja.
Struktur membantu organisasi berhubungan dengan lingkungannya.
Teori strukturasi berpendapat
bahwa melalui proses strukturasi, indidividu bebas dalam memilih perilaku
komunikasinya (agency) sehingga tercipta
struktur tertentu. Giddens menyebut sebagai struktur baru. Tetapi struktur ini
sangat dipengaruhi pengalaman perilaku atau harapan-harapan sebelumnya. Tetapi
di sisi lain, setelah direproduksi menjadi lebih formal, struktur itu aka
menjadi pemandu perilaku individu. Sebagai panduan, pada dasarnya juga
berfungsi membatasi perilaku individu. Kondisi ini disebut a double-edged sword. Struktur diciptakan
oleh dan mengikat perilaku invidu. Situasi ini disebut sebagai dualitas
struktur (duality of structure). Artinya, struktur mengandung dua sisi yang
kontradiktif ( Kriyantono, 2014 : 239).
Menurut teori strukturasi, organisasi, struktur dan
agency hidup dalam konteks ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan kondisi
dasar bagi sistem sosial dan perilaku sosial. Struktur organisasi diproduksi,
direproduksi, atau ditransformasi melalui proses repetisi oleh perilaku
individu dalam interaksi sosialnya. Kesimpulannya, struktur organisasi dibuat
oleh anggota organisasi dan ditempatkan serta diubah sesuai konteks ruang dan
waktu. “Struktur organisasi adalah media bagi agency sekaligus hasil dari interaksi agency”
(Falkheimer, 2007 : 288 dalam Kriyanton, 2014 : 240). Peran praktisi public
relations yaitu menjadi mediator menghubungkan antara struktur di satu sisi dan
agency di sisi lainnya, sehingga dualitas struktur bisa berjalan harmoni.
Berdasarkan teori ini,
proses public relations sebagai suatu proses komunkasi yang dinamis dimaknai bukan
hanya dilakukan oleh praktisi public relations, melainkan oleh semua anggota
organisasi. Sehingga, proses public relations dipandang sebagai proses yang
mendukung semua level di dalam organisasi bukan fungsi top manajemen yang
terisolasi. Tujuannya alah untuk memberikan peluang anggota organisasi
mengkonstruksi realitas sosial sehingga menciptakan pengertian bersama. Peran praktisi public relations yaitu
mengkomodasi dan mengarahkan proses strukturasi agar tidak melenceng dari
tujuan organisasi. Teori strukturasi memandang praktisi public relations
sebagai kekuatan komunikasi yang melayani terjadinya reproduksi dan/atau
transformasi suatu ideology dominan dari suatu organisasi.
Resume
Jurnal Komunikasi
“Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia”
Rachmat Kriyantono & Bernard McKenna
Sumber : http://ejournal.ukm.my/mjc/article/view/17165
Artikel
“Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia” memandang
studi public relations dan prakteknya melalui perspektif Indonesia. Sebagai terapan
Ilmu Komunikasi, public relations telah didominasi oleh perspektif Barat.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk merangsang perkembangan teori public
relations dengan mengadopsi kearifan lokal Indonesia, kolaborasi teoritis
Indonesia-Barat, dan refleksi kritis pada teori Barat. Para penulis telah mengeksplor
beberapa pepatah/peribahasa Indonesia yang mewakili kearifan lokal Indonesia
untuk mencari persamaan dan perbedaan antara perspektif Barat dan Indonesia.
Para penulis menyajikan perspektif Indonesia secara normatif sebagai dasar
untuk membangun teori public relations di masa depan dalam konteks Indonesia.
Budaya, tradisi, dan norma-norma moral suatu negara dapat dipertahankan
meskipun negara tersebut dapat mengalami transformasi cepat menuju perekonomian
dan gaya hidup Barat.
Public Relations Adalah Disiplin
Ilmiah Baru dalam Bidang Komunikasi
Keberadaan
Public Relations adalah setua peradaban manusia karena kebutuhan individu untuk
membujuk orang lain (Kriyantono, 2014; Newsom, Scott, & Turki, 1993). PR
juga merupakan aktivitas yang terjadi di mana-mana (obiquitos activity) (Horsley,
2009), karena “prinsip bisnis public relations telah dikenal, dipelajari, dan
dipraktikkan selama berabad-abad.” (Leahigh, 1993, hal. 24). Studi akademis public
relations sering lebih berfokus pada kegiatan-kegiatan praktis yang dikenal
dengan PR sebagai praktek atau sebagai alat (Ardianto, 2004; Skerlep, 2001). Menurut
Edward Bernays dan Edward Robinson, public relations merupakan ilmu sosial dan
terapan karena mengintegrasikan unsur-unsur teoritis dan praktis.
Meskipun
demikian, Public Relations berkembang menjadi disiplin komunikasi terapan selama
25 tahun terakhir, yaitu praktek komunikasi perusahaan dan secara teoritis dan
research based area (Botan & Hazleton, 2009; Ihlen & Ruler, 2007,
2009). Hal tersebut dikarenakan bidang public relations telah meminjam atau mengadaptasi
banyak teori-teori dari disiplin lain, juga didefinisikan sebagai manajemen
hubungan dan manajemen komunikasi. PR tidak bisa matang kecuali membangun teori
asli dari konsep-konsep yang dipinjam (J. E. Grunig, 1989). pengembangan teori
ini akan datang dari akademisi dan praktisi (Johansson, 2007; Wehmeier, 2009).
Beberapa literatur, seperti Botan & Hazleton (1989); Greenwood (2010);
Grunig & Hunt (1984); Grunig (1989); Hallahan (1999); Ihlen & van Ruler
(2007, 2009); dan Sisco, Collin, & Zoch (2011), menyatakan bahwa public
relations adalah ilmu sosial multi-disiplin.
Kebutuhan
Public Relations untuk menjadi ilmu bukan hanya sebuah profesi, mulai sejak
pertengahan tahun 1970-an (Sisco et al., 2011). Hal ini terbukti dari artikel
yang muncul pada Review Public Relations pada tahun 1975 mengenai penelitian
dan temuan, bukan hanya artikel tentang profesi. Bukti lebih lanjut bahwa PR sebagai
ilmu dapat ditemukan dari studi Sallot, Lyon, Acosta-Alzura, & Jones
(2003), yang menemukan bahwa artikel tentang public relations dalam Public
Relations Review, Penelitian Tahunan Public Relations dan Penelitian Journal of
Public Relations tidak hanya tentang 'praktik atau aplikasi' tetapi juga
'introspectively' mempertimbangkan fungsi public relations dan tema pendidikan
dan 'pengembangan teori'. Jumlah dari artikel
mengenai “pengembangan teori” juga telah meningkat dua kali lipat dalam edisi 2001-2003
dibandingkan dengan edisi 1984-2000.
Dominasi Perspektif Barat
Perkembangan
pengetahuan public relations berat sebelah karena fokus bangunan teori telah
terbatas terutama ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat.” (
Sriramesh & Vercic, 2003a,: xxv). Penelitian Dissanayake (1988) di
negara-negara Asia Tenggara mengungkapkan bahwa 71 persen dari bahan yang
digunakan dalam kursus pengajaran teori komunikasi berasal dari Amerika. Dalam
studi lain di Asia Selatan, Dissanayake (1988) menemukan persentase yang lebih
tinggi, yaitu 78 persen. Selain itu, tidak ada ilmuwan Asia berada di daftar
ketika Rogers (1997) menulis sejarah studi komunikasi: semua berasal dari
Amerika Serikat dan Eropa.
Gagasan
bahwa kita juga perlu mempelajari komunikasi dari perspektif Timur (Asia) muncul
baru-baru ini (Dissayanake, 1988; Gunaratne, 2009; Kriyantono, 2014; Littlejohn
& Foss, 2008; Raharjo, 2013) . Di antara 27 teori public relations berasal
dan teori-teori yang dipinjam, tidak satupun dari mereka adalah perspektif
Timur atau Indonesia (Kriyantono, 2014). Beberapa negara Asia telah menciptakan
teori-teori komunikasi dari perspektif mereka sendiri, seperti Teori Komunikasi
Cina, Teori Komunikasi India, Teori Harmony Chinese, Teori Komunikasi Konghucu,
Teori Kuuki Jepang, dan Teori Komunikasi Tao. Akan tetapi tidak ada teori
tunggal yang muncul dari perspektif Indonesia. Selain itu, para ilmuwan Barat
telah menemukan kesulitan dalam memperoleh karya ilmiah Indonesia tentang
fenomena komunikasi dalam konteks Indonesia termasukpublic relations. Tidak banyak ilmuwan
Indonesia mengeksplorasi kearifan lokal sebagai dasar untuk membangun
teori-teori komunikasi yang relevan dengan konteks Indonesia (Raharjo, 2013).
Saat
ini, Dunia Barat masih menjadi pusat studi public relations di Indonesia
(Kriyantono, 2014; Raharjo, 2013). Dominasi perspektif Barat telah disebabkan
oleh lima faktor. Pertama, keterlambatan pendidikan pribumi Indonesia karena
penjajahan selama berabad-abad (sekitar 350 tahun) telah memberikan pengaruh
kolonisasi yang mendalam. Kolonisasi ini telah mempengaruhi pola berpikir dengan
memberlakukan penelitian dengan lensa Barat (Achmad, 2012). Kedua, sistem
politik otoriter di bawah rezim Presiden Soekarno (1945-1966) dan rezim kedua
Presiden Soeharto (1966-1998) yang menahan kebebasan berbicara. Meskipun era
reformasi Mei 1998 memberi kebebasan berbicara untuk mengekspresikan opini yang
beragam, ini adalah fenomena atau transisi yang relatif baru era demokrasi di
Indonesia (Rasul, Rahim, & Salman, 2015). Ketiga, sangat sedikit studi
publikasi internasional public relations dari perspektif Indonesia (Hobart,
2006; Kriyantono, 2014; Raharjo, 2013), dan, sebagai akibatnya, tidak ada dasar
umum. Keempat, karena bahasa Inggris adalah bahasa yang dominan dari penelitian
komunikasi, orientasi Anglophone telah mendominasi penelitian. Akhirnya, karena
banyak sarjana Indonesia telah belajar di negara-negara Barat, seperti
Australia, Amerika Serikat, Inggris, Perancis atau Jerman mereka telah terpengaruh
perspektif Barat. Yusoff dan Hanafiah (2015) menyatakan bahwa perspektif Barat
telah mempengaruhi perspektif lokal melalui pendidikan, hiburan, dan teknologi
komunikasi.
Kearifan Lokal Adalah Empirik dan
Pragmatis
Kearifan
lokal adalah pengalaman lokal dan ide-ide dari kebijaksanaan dan kebaikan
nilai-nilai yang terinternalisasi di antara generasi dalam suatu masyarakat
tertentu (Radmilla, 2011). Nilai-nilai tersebut tertanam sebagai moral yang
dipatuhi oleh masyarakat sebagai dasar harmoni. Kearifan lokal dikembangkan
dari kesadaran komunal yang muncul dari interaksi sosial yang diakumulasi dan
mengkristal menjadi doktrin moralitas (kode etik). Doktrin-doktrin ini biasanya
disebarkan melalui berbagai saluran komunikasi tradisional, seperti legenda,
dongeng, cerita rakyat, komunikasi word of mouth (Indonesia: gethok tular),
drama tradisional, lagu, dan peribahasa. Kearifan lokal telah menjadi tradisi
untuk membimbing kehidupan masyarakat karena dibangun dari integrasi nilai-nilai dan budaya
masyarakat, sistem kepercayaan teistik, dan aspek geografis (Kriyantono, 2014).
Sistem kepercayaan diwakili oleh pepatah Iduik bajaso, mati bapusako (artinya:
hidup untuk rendering layanan, mati untuk memiliki pusaka). Dalam kegiatan
public relations, kearifan lokal ini harus menjadi dasar untuk mengembangkan
kegiatan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) dan pemasaran
sosial perusahaan, kegiatan yang melakukan hal-hal yang baik dan bermakna bagi
masyarakat.
Kearifan
lokal Indonesia adalah panduan untuk komunikasi dan interaksi dalam masyarakat
Indonesia sebab hal tersebut dibangun dari sistem kepercayaan, nilai-nilai
budaya dan geografi masyarakat setempat. Kearifan lokal adalah empiris dan
panduan pragmatis untuk memecahkan masalah. Gagal untuk menggabungkan kearifan
lokal masyarakat adat dan praktek nya dalam teori dan praktek public relations
di Indonesia berarti bahwa teori dan praktek tersebut akan relatif tidak
efektif karena tidak ketidakrelevanannya. Lebih buruk lagi, jika teori
berdasarkan Dunia Barat dan prakteknya efektif, maka hasilnya akan menjadi
erosi lebih lanjut dari budaya asli dan peningkatan hegemoni budaya Barat,
praktek, sistem kepercayaan, dan ideologi.
Hasil dan Diskusi
Terdapat
lima tema yang muncul dari kearifan local di Indonesia. Kelima konsep tersebut menjadi
kearifan lokal selama berabad-abad, oleh karena itu, konsep tersebut harus
dipromosikan untuk mengembangkan teori public relations yang relevan dengan
budaya Indonesia.
a.
Musyawarah mufakat sebagai penentuan keputusan di Indonesia
Tampaknya
kearifan lokal Indonesia konsisten dengan model simetris dua arah. Model ini,
seperti yang dijelaskan dalam Model Excellent Public Relations (JE Grunig,
1989, 2008; JE Grunig & Hunt, 1984) dan dialogis Humas Teori (Kent &
Taylor, 2002), mengusulkan bahwa public relations memainkan dua peran
sekaligus: satu di sisi manajemen, lain di sisi publik dengan semangat untuk
membangun kompromi. Public relations memfasilitasi penyebaran informasi kepada
masyarakat secara langsung dan berbicara kepada manajemen tentang kebutuhan
masyarakat. Fungsi komunikasi sebagai negosiasi dan kompromi alat untuk
menciptakan solusi yang saling memuaskan. Model tersebut sesuai dengan
perspektif Indonesia yaitu musyawarah mufakat / rembugan, pengambilan keputusan
dengan dialog. Menurut Pancasila, lima filosofi dasar prinsip dimasukkan ke
dalam konstitusi Indonesia, musyawarah mufakat, adalah strategi utama untuk
membuat keputusan daripada voting. Ini adalah kebalikan dari kekuasaan
mayoritas yang terjadi di sebagian besar negara perspektif Barat di mana bentuk
proses demokrasi lebih mewakili berbagai pendapat. Dengan demikian, di Jawa,
keputusan (seperti dalam masyarakat atau pemerintah daerah) biasanya tidak
didasarkan pada mayoritas namun berdasarkan perjanjian. Nenek moyang mengajarkan
yen ana rembug dirembug, nanging olehe ngrembug Kanthi ati bernyanyi sareh,
memecahkan masalah melalui dialog dengan tenang, sabar, dan berpikir jernih
(dialog = rembug atau musyawarah).
b.
Menjaga hubungan timbal balik yang didasarkan pada harmoni dalam sistem
Sebagai
bagian dari sistem sosial, proses public relations harus mengarahkan organisasi
untuk mencapai harmoni dalam sistem di mana ia beroperasi. harmoni ini dikenal
sebagai runtut raut sauyunan, yaitu hidup rukun dan damai bersama-sama; rukun
agawe santosa, crah agawe bubrah, guyub rukun, yaitu, jika kita hidup dalam
damai dan harmoni kita akan makmur, jika kita hidup dalam pertengkaran kita
akan menderita. Organisasi harus rampa’naong
beringin korong berdaun dan teduh, yaitu organisasi melindungi masyarakat
seolah-olah itu adalah pohon beringin untuk membuat hidup harmonis,
solidaritas, dan merangsang swadaya masyarakat (gotong royong).
Sebuah
strategi komunikasi yang berhubungan dengan masyarakat dari perspektif
Indonesia bisa dilakukan dengan menerapkan pepatah dari silih asah, silih asih,
silih asuh (mengajar, cinta, dan menjaga satu sama lain). Hasil asah silih
dalam memberikan informasi secara teratur melalui dua saluran timbal balik.
Informasi ini terdiri dari setiap upaya untuk mendidik dan memotivasi
masyarakat untuk mendukung organisasi. Namun, sebelum menyebarkan informasi, PR
harus mengeksplorasi kebutuhan masyarakat dengan melakukan penelitian. Itu
sebabnya, silih asah merangsang hubungan masyarakat untuk melakukan kegiatan
berdasarkan rasional-ilmiah: penelitian dan dialog sehingga PR “berdasarkan
fakta” (Newsom et al., 1993).
c.
Perspektif Indonesia mengenai Deklarasi Prinsip (Tell the truth)
Mengatakan
sesuatu berdasarkan prinsip kebenaran adalah dasar dalam praktik public
relations untuk membangun kepercayaan (J. E. Grunig & Hunt, 1984; Lattimore
et al, 2007.). Perspektif Indonesia mengatakan ajining diri dumunung ana ing lathi dan basa iku busananing bangsa,
yaitu kehormatan pribadi adalah pada kata-kata seseorang. Dengan memberikan
terbuka, informasi yang benar, sebuah organisasi akan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat akan informasi dan untuk mendapatkan kepercayaan publik yang akan
merangsang dukungan publik dan kerjasama. Pentingnya mengatakan hal yang
sebenarnya direpresentasikan dalam jeung leweh mah memperbaiki waleh (lebih
baik untuk mengatakan sesuatu terus terang daripada menjaga kata karena tidak
cukup berani untuk memberitahu). Pandangan Indonesia adalah bahwa mengatakan
kebenaran harus sejalan dengan harmoni. Seperti yang dinyatakan sebelumnya,
kepercayaan Indonesia di atunggal loro-loroning atau prinsip monodualism
(Purwadi, 2011) menganggap bahwa jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan.
kearifan lokal ini juga muncul dalam praktek hubungan masyarakat. Misalnya,
ketika penerbangan Air Asia 8501 dari Surabaya di Indonesia ke Singapura jatuh
ke Laut Jawa dengan memakan korban 162 orang di 28 Desember 2014. wartawan
mencari informasi rinci tentang tubuh penumpang yang sedang diambil. Namun,
juru bicara polisi mengatakan bahwa dia tidak bisa menyampaikan informasi secara
rinci untuk menghormati keluarga penumpang. Dapat dikatakan bahwa penolakan untuk
memberikan informasi detail mengenai kondisi penumpang mayat dihormati
kebanyakan keluarga dengan keyakinan bahwa individu tidak dapat dipisahkan dari
keluarga (hubungan darah) karena prinsip-prinsip keutuhan dan kesatuan publik.
d.
Blusukan sebagai alat fasilitator komunikasi
Teori
barat halo effect dan the primacy effect memiliki kesejajaran dengan keyakinan
Indonesia. Efek halo berarti bahwa persepsi kita terhadap suatu benda atau
orang dipengaruhi oleh kinerja fisik objek, sedangkan efek keutamaan berarti
bahwa persepsi kita sangat dipengaruhi oleh gambar pertama dari objek atau
orang. Dalam hal ini, perilaku anggota semua organisasi berkontribusi untuk
mengkomunikasikan citra publik organisasi. Oleh karena itu, semua orang adalah
public relations dan Anda adalah PR pada diri anda sendiri. Menurut Kriyantono
(2014), perspektif Indonesia menawarkan penjelasan serupa melalui ajining raga
ana ing busana (secara fisik, kehormatan pribadi dapat dilihat dengan cara
berdandan). perspektif menunjukkan bahwa bagaimana penampilan public relations akan
mempengaruhi citra public.
Blusukan
mirip dengan konsep Barat “managing by walking around” karena fungsi mereka
adalah gethok tular; Namun perspektif
Indonesia lebih berfokus pada aspek emosional, seperti sambung roso, untuk
membangun hubungan.
Dengan
melakukan blusukan, public relations mampu menghasilkan gethok tular (komunikasi
word of mouth) secara langsung untuk menyebarkan informasi dari manajemen untuk
meminimalkan kesalahan persepsi. Secara internal, public relations ditempatkan
untuk menghentikan rumor yang tidak akurat yang menyebar dengan cepat dari
mulut ke mulut dalam sebuah organisasi. Public relations memonitor lingkungan
mengadopsi peran masalah manajemen untuk mengantisipasi krisis dengan
menanyakan apa yang terjadi. Perspektif Indonesia mengatakan Jaga pagarra
dibi'ja’parlo ajaga pagarra oreng laen (menjaga gerbang Anda sendiri, jangan
terus lainnya), yaitu jika krisis terjadi, organisasi seharusnya tidak
menyalahkan pihak lain.
Perspektif Lokal Terhadap Dua
Preposisi Dasar
Public
Relations memiliki dua proposisi: (1) Public relations sebagai fungsi
manajemen; (2) PR bertanggung jawab untuk mengelola hubungan antara organisasi
dan publik. Hal ini dikenal sebagai paradigma ekologi karena
proposisi-proposisi ini membutuhkan adaptasi, seleksi, dan penyesuaian (Cutlip,
Center, & Broom, 2006; Everett, 2009). Cutlip (1952, dikutip dalam Cutlip
et al, 2006;. Everett, 2009; Greenwood, 2010) telah menggunakan konsep ekologi
ketika ia didefinisikan public relations sebagai saling ketergantungan
(menyesuaikan & beradaptasi) antara organisasi dan lingkungannya. Adaptasi
dan penyesuaian, umumnya, adalah pemikiran dasar dari masyarakat Indonesia yang
diinternalisasikan sebagai karakter filosofis masyarakat.
Indonesia
memiliki karakteristik Asia yang menekankan tanggung jawab timbal balik antara
individu dan masyarakat, selaras dengan lingkungan, dan dengan asumsi bahwa
dunia adalah saling berhubungan dan saling tergantung secara keseluruhan.
Selama berabad-abad, banyak dari kearifan lokal Indonesia telah didasarkan pada
pentingnya adaptasi dan penyesuaian, seperti jip kang sui suan, jip koi sui
nyak, (Jika Anda memasukkan sungai untuk berenang atau pengiriman, Anda harus
mengikuti kurva, memasuki desa mengikuti adat istiadat; sai bumi Ruwa jurai
(satu bumi untuk dua komunitas yang berbeda); teposliro (perasaan empati); dima
nagari diunyi, disitu Dipakai adat (di mana pun Anda tinggal, Anda harus
mengikuti adat istiadat) Secara kolektif, kearifan local ini berarti. bahwa
individu harus menghormati budaya lokal tanpa kehilangan budaya sendiri, agar
berhasil beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan. Organisasi harus
mengembangkan teposliro (sikap merasa perasaan publik). Prinsip teposliro
diwakili dalam rumongso pepatah ojo biso, kudu biso rumongso (Jangan merasa
bahwa Anda bisa, tetapi Anda harus dapat merasakan).
Kesimpulan
Dapat
dibuktikan bahwa public relations dalam konteks Indonesia dapat dilakukan
sesuai dengan kearifan lokal. Jadi tidak perlu mengadopsi seluruh
prinsip-prinsip Barat ke dalam teori atau praktek. Oleh karena itu artikel ini
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan teori public relations dari perspektif
Timur, khususnya Indonesia. Dengan cara ini, budaya dan tradisi, dan norma-norma
moral suatu negara dapat dipertahankan meskipun negara itu dapat mengalami
transformasi cepat menuju perekonomian dan gaya hidup yang lebih Barat. Dengan
membatasi proses hegemoni teori dan praktik Barat, tatanan global yang lebih
beragam dan penuh hormat dimungkinkan.
Daftar Pustaka
Kriyantono, R. (2014). Teori public relations, perspektif barat dan
lokal . Jakarta: Prenadamedia
Kriyantono dan McKenna. (2017). “Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for
Older Post | Newer Post
|
The Webmaster
Name: Anita Christina
Birthday: 31st May 1997
Age: 14
Stay at: Indonesia
Favorite :
- Make a new friendship
- Blogging
- Greyson Chance
- Blue, purple
- Readers, followers
Non-favorite :
- Anons, Haters
- Slow internet line
- Hypocrite
Stuff
Tutorial For Template Designer
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial For Blogskins
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Tutorial : Coming Soon
Resume Theories of Public Relations & Jurnal Komunikasi “Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia”
Theories of Public Relations
Teori Sistem
Teori Sistem diadopsi dari biologi yang digagas oleh
Ludwig van Bertanaffy pada 1940-1950an. Beliau mengatakan pentingnya
salingketerhubungan antara semua elemen tubuh. Setiap manusia atau sistem
sosial seperti organisme fisik, living organism, ekonomi, efek media pada
khalayak, dan sistem matemarika dikelilingi oleh batas-batas yang cair, yang
memungkinkan saling perngaruh dan tidak hidup secara terisolasi (Hearg,
2005;Krippendorf, 2008). Dari biologi teori sistem berkembang menjadi teori
interdisipliner dan diadopsi beberapa pakar bidang ilmu yang berbeda.Teori
sistem adalah sebuah dasar kehidupan manusia yang saling berhubungan, bagaimana
sistem dalam suatu relasi itu bersifat dinamis dengan system lainnya
(Kriyantono, 2014, h.77). Teori ini juga
mengajarkan pentingnya menjalin hubungan sosial yang baik dalam suatu
organisasi terhadap publiknya dan saling mempengaruhi. Praktisi Public
Relations dapat menjadikan teori ini sebagai dasar menjalin hubungan dengan
publiknya. Hal tersebut dikarenakan public relations memiliki kemampuan
mempengaruhi berfungsinya keseluruhan sistem organisasi (Laborde, 2005)
Adapun sebagai sistem, organisasi memiliki
karakteristik yaitu:
a. Keseluruhan dan saling bergantungan (Wholeness
and Interdependence)
Organisasi adalah satu kesatuan yang saling berhubungan dan ketergantungan.
Jika salah satu sistem tidak berfungsi dengan baik maka sistem-sistem yang lain
akan terganggu.
b. Hierarki (Hierarchy)
Suatu Sistem terdiri suatu sistem yang lebih besar (sub sub sistem dan
suprasistem). Dalam organisasi yaitu sistem yang terdiri dari beberapa
subsistem seperti: departemen public relations,
marketing, keuangan, human resources. Masing masing departemen terdiri
dari suprasistem seperti department
public relations adalah supra dari eksternal relations, dan internal relations.
c.Peraturan sendiri dan control (Self
regulation and control)
Aktivitas sistem diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (sistem mengatur
perilakunya dalam mencapai tujuan tersebut.) wujudnya berupa peraturan berupa SOP (standars operational procedures).
Seperti contoh, departemen public relations mempunyai aturan mengenai membuat
press release, membuat konferensi pers.
d. Pertukaran dengan lingkungan (Interchange with the environment)
sistem berinteraksi dengan lingkungan nya atau saling mempengaruhi satu sama
lain. Adanya input dan output dari hasil interaksi komunikasi.
e.Keseimbangan (balance)
keseimbangan akan dapat dicapai jika suatu system berfungsi dengan baik. Sistem
yang berfungsi dengan baik disebut homeostatis atau ekuilibrum. Kondisi
ekuilibrium bagi organisasi berart isetiap susbsistem (departemen dan staf)
melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik untuk mendukung eksistensi
organisasi secara keseluruhan.
f. Perubahan dan kemampuan adaptasi (change and adaptability)
untuk mencapai keseimbangan, system harus memiliki kemampuan dalam menyesuakian sistem terhadap
lingkungan. Seperti contoh, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku
konsumen, perubahan daya kritis konsumen.
g. Sama tujuan (Equifinality)
sistem memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan bentuk visi misi yang mengarahkan
perilaku setiap anggota sistem. (Kriyantono, 2014)
Berdasarkan
teori sistem ini, aktivitas public relations melekat pada semua elemen sistem.
Bagaikan tubuh manusia, jika tangan sakit maka bagian tubuh lainnya ikut
merasakan. Jika karyawan berulah negative maka manajemen akan terkena imbasnya
(Kriyantono,2012a:10)
Boundary Spanning
Boundary spanning merupakan
istilah fungsi public relations sebagai penghubung antara organisasi dengan
lingkungannya. Public relations berinteraksi dengan lingkungannya untuk
monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Kemudian informasi tersebut
disampaikan kepada kelompok dominan dalam organisasi. Fungsi “boundary spanning”
dapat dikatakan sebagai aktifitas “gate keeper”.
Aktivitas pelaksanaan boundary spanning yang
dilakukan oleh praktisi public relations antara lain:
1. Menjelaskan informasi tentang organisasinya
kepada publik (lingkungannya). Praktisi public relations harus menginterpretasi
filosofi, kebijakan, program, dan apa yang dipikirkan manajemen agar dapat
dimengerti oleh publiknya. Informasi ini merupakan input bagi publik.
Selanjutnya, praktisi public relations menyeleksi, menerima, dan menyampaikan
informasi dari publik kepada organisasi. Ini adalah umpan balik dan merupakan
input bagi organisasi.
2. Memonitor lingkungan sehingga mengetahui apa yang
terjadi dan menginterpretasi isu-isu yang potensial memengaruhi aktivitas
organisasi dan membantu manajemen merespons isu-isu tersebut melalui aktivitas
isu manajemen. Di sini praktisi public relations bertindak sebagai mitra
manajemen untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang mungkin
muncul.
3. Membangun sistem komunikasi dua arah dengan
publiknya agar organisasi dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Praktisi
public relations merupakan seorang fasilitator komunikasi.
Relationship Management Theory.
Teori Relationship Management merupakan teori
penting dari public relations, karena terkait dengan fungsi dasar public
relations, yaitu aktivitas komunikasi yang menguhubungkan organisasi dan
public. Teori ini focus membahas proses memanajemen relasi antara organisasi
dan publiknya, internal maupun eksternal, karenanya teori ini juga dikenal
sebagai pusat atau inti public relations. Teori ini juga dikenal sebagai teori
organization-public relationship (OPR), karena dalam praktik public relations ,
komunikasi ditunjukan untuk menjaga keuntungan yang bisa dirasajab para peserta
komuunikasi, organisasi, dan public, yaitu ada suatu keseimbangan kepentingan
antara keduanya.
Dalam tulisan Ledingham (2006) dan Waters (2008),
dapat disampaikan beberapa metode pengukuran. Metode yang paling banyak
digunakan yaitu metode yang ditawarkan
How&Grunig berisi empat dimensi yaitu : kepercayaan (trust), komitmen,
kepuasan (satisfaction), dan control kesamaan (control mutuality).
Teori Matematika Komunikasi, Uncertainty Reduction
Theory
Claude
Shannon dan Warren Weaver membuat model yang dipublikasikan melalui buku The
Mathematical Theory of Communication pada 1949. Teori ini mengambarkan proses
komunikasi antarmanusia sebagai proses transmisi yang linier antara komunikator
kepada komunikan. Dalam model ini,
Shannon-Weaver mengenalkan beberapa konsep yang saling berkaitan, yaitu konsep
gangguan (noise), transmiter, sumber (source), signal, receiver, destination,
entropi, dan informasi.
Model
Shannon dan Weaver mengasumsikan bahwa sumber informasi menghasilkan suatu
pesan untuk dikomunikasikan dari separangkat pesan yang dimungkinkan. Pesan itu
bisa dalam bentuk kata lisan atau tulisan, musik, gambar, dan lain sebagainya.
Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi suatu sinyal yang sesuai dengan
saluran yang digunakan. Saluran (Channel) adalah medium yang mengirimkan sinyal
(tanda) dari transmitter ke penerima (receiver). Dalam percakapan, sumber
informasi adalah otak, transmitter-nya adalah mekanisme suara yang menghasilkan
sinyal (kata-kata yang terucap), yang ditransmisikan lewat udara (sebagai
saluran). Penerima (receiver), yakni mekanisme pendengaran, melakukan operasi yang
sebaliknya yang dilakukan transmiter dengan merekonstruksi pesan dari sinyal.
Sasaran (distination) adalah (otak) orang menjadi tujuan pesan itu.
(Mulyana,2003). Konsep lain yang merupakan yang merupakan andil Shannon dan
Weaver adalah entropi (entrophy) dan redundansi (redundancy) serta keseimbangan
yang diperulukan di antara keduanya untuk menghasilkan komunikasi yang efisien
dan pada saat yang sama mengatasi ganguan dalam saluran.
Uncertainty Reduction Theory
Teori pengurangan ketidakpastian diciptakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada
tahun 1975. Teori ini menjelaskan
bagaimana cara manusia
mengumpulkan informasi untuk mengurangi ketidakpastian yang dialami.
Ketidakpastian diartikan sebagai ketidakmampuan individu untuk memprediksi atau
menjelaskan perilakunya dan perilaku orang lain (Kriyantono, 2014). Tujuan
komunikasi yaitu untuk mengurangi ketidakpastian, karena itu kita berusaha mengurangi
ketidakpastian dengan cara mencari informasi. Komunikasi dapat dipahami sebagai alat untuk mengurangi
ketidakpastian. Fungsi komunikasi dalam hal ini adalah untuk mendapatkan
informasi, dan untuk membuat prediksi atau penjelasan tentang makna perilaku
lawan bicara.
Tugas pokok public
relations yaitu menciptakan citra positif dan mendukung reputasi positif
organisasi di mata publiknya. Citra positif dapat terbentuk apabila public mempunyai
persepsi yang positif terhadap organisasi. Persepsi ini harus lengkap sehingga
tidak menimbulkan salah persepsi. Publik harus dalam kondisi kecukupan
informasi agar tidak ada kesenjangan informasi antara organisasi dengan
publiknya.
Berdasarkan teori
uncertainty reduction, Heath (2005) menyarankan praktisi public relations untuk
meminimalkan ketidakpastian dengan strategi
a. Mengumumkan berbagai perubahan sedini mungkin
bagi semua publik terlibat.
b. Memfasilitasi partisipasi staf dalam proses
pengambilan keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah.
c. Menjaga agar aliran informasi terjadwal dengan
baik.
d. Apabila tidak dapat menyediakan informasi dengan
baik, public relations harus dapat menjelaskan alasannya.
e. Menjelaskan segala kebijakan atau keputusan yang
diambil manajemen, termasuk alasan keputusan tersebut.
f. Menjaga kepercayaan publik terhadap organisasi.
Teori excellence dan Contingency of Accomodation
Theory
Teori
excellence diperkenalkan oleh James Grunig dan Hunt dalam buku Managing Public
Ralations. Teori Excellence berangkat dari empat model PR (Press Agentry,
public information, two way assymetrical,dan two way symmetric theory) dan
teori situasional of the public dengan lebih menekankan pada aspek negosiasi dan
kompromi.
Teori excellence menganggap public relations bukan
lagi sekedar berperan sebagai alat persuasif atau sebagai teknisi komunikasi
untuk menyebarluaskan komunikasi. Namun public relations dianggap sebagai ahli
yang melaksanakan peran sebagai manajer yang menggunakan penelitian dan dialog
untuk membangun hubungan yang sehat dengan publiknya.
Teori excellence mendapat kritik dari pakar yang
menilai model normatif ini sulit ditemukan dalam praktik public relations.
Pakar-pakar tersebut adalah Cameron, dkk. (2001), Cancel, dkk. (1997), Reber
& Cameron (2003). Pengkritik tersebut menilai sulit bagi organisasi yang
hanya berfokus menerapkan model two-way symmetric dan menawarkan teori baru
yaitu contingency theory of accommodation in public relations (teori CA), yang
berpendapat bahwa two-way symmetric dan win-win solution sulit diterapkan
sebagai bentuk ideal. Karena dalam kenyataan factor aturan atau legal sering
tidak memungkinkan public untuk menang. Sebaliknya, organsasi yang memosisikan
dirinya pada suatu kontinum antara bersikap akomodasi dan bersikap advokasi
saat berhadapan dengan publiknya.
Teori ini menunjukkan bahwa public relations
berkontribusi dalam membangun hubungan yang baik dengan lingkungannya. Dan
kualitas public relations dapat diukur dengan cara mengevaluasi kualitas
hubungan antara organisasi dan publiknya yaitu serial terus-menerus yang secara
perlahan membuat kedua pihak terintegrasikan sehingga sulit menentukan titik
awal dan akhir hubungan. (Kriyantono, 2014, h. 105-110)
Agar dapat menghasilkan proses public relations yang
excellence, teori ini memberikan 10 premis atau prinsip excellence atau factor
excellence. Premis yang merupakan hasil dari penelitian terhadap 327 organisasi
di tiga negara yang kemudian hasilnya dianalisis menggunakan teori komunikasi,
public relations, manajemen, psikologi organisasi, sosiologi organisasi,
psikologi social, psikologi kognisis, feminism, ilmu politik, pembuatan
keputusan dan budaya (Grunig, dkk., 2008, dikutip di Kriyantono, 2014).
Contingency of Accomodation Theory merupakan
pelengkap dari teori excellence. Teori CA ini secara umum menjelaskan tentang
hubungan organisasi dan publiknya tidak dapat benar-benar mencapai posisi
two-way symmetric seperti yang ditawarkan dalam teori excellence. Praktik
public relations bergerak pada suatu kontinium antara advokasi bagi organisasi
atau klien dan akomodasi total bagi publiknya (Cameron, dkk dalam Kriyantono,
2014, h.119) Win-win solution yang ditawarkan model two-way symmetric tidak
selamanya menjadi tawaran yang ideal bagi organisasi. Hal ini dikarenakan, ada
beberapa faktor yang membuat model symmetric sulit untuk diterapkan dalam
praktiknya, misalnya beberapa hal yang berkaitan dengan aturan hukum, sehingga
tidak memungkinkan seorang public relations untuk memberitahukan hal tersebut
kepada publik (Kriyantono,2014, h.120). Akomodasi yaitu penyesuaian diri terhadap lingkungan, mencakup
kemampuan untuk berkolaborasi dengan pihak lain. Advokasi dapat diartikan
sebagai upaya memberikan dukungan dan pembelaan terhadap kebijakan organisasi,
jadi seorang PR layaknya penasihat hukum membela kliennya. Dikatakan
kontingensi karena antara bersikap akomodasi dan advokasi, seorang PR di
pengaruhi oleh faktor-faktor kemungkinan sehingga bersifat situasional. Seorang
PR harus menyeimbangkan antara akomodasi dan advokasi, karena jika PR lebih
fokus melakukan advokasi maka dapat dikatakan bahwa seorang PR telah melakukan
proses memanipulasi publik (Kriyantono, 2014, h. 121). Public relations pada
saat tertentu dapat menerapkan strategi secara bergantian, bersikap akomodatif
atau advokatif tergantung variable internal dan eksternal yang mana yang
dominan.
Situational Theory of The Publics
Penggagas teori ini adalah James E. Grunig yang
mendeskripsikan sikap dan perilaku komunikasi dari public terhadap organisasi. pengagas
teori ini menggunakan istilah publics dengan s (jamak) untuk merujuk kepada
kelompok yang menjadi sasaran program public relations, antara lain jurnalis,
karyawan, investor, konsumen, pemerintah atau komunitas lokal. Teori
situasional membantu menjelaskan mengapa sekelompok orang aktif pada isu
tertentu, yang lainnya aktif dalam banyak isu sementara yang lain bersikap
apatis (Lattimore, 2010). Menurut ( Heath, 2005( dikutip di Kriyantono, 2014)
bahwa teori STP bersifat situasional karena masalah atau isu datang dan pergi
dan menimpa hanya pada orang-orang yang mengalami situasi problematik terkait
aktivitas organisasi.
Public Relations dapat menggunakan teori ini untuk
mengidentifikasi dan mengelompokkan publik berdasarkan persepsi, sikap, dan
perilaku publik terhadap organisasi, baik terhadap programnya, produk, maupun
ketika terjadi situasi krisis. Secara umum teori ini menyatakan bahwa publik
memiliki pengetahuan (knowledge) atau kesadaran (awareness) , sikap, dan
perilaku tertentu terhadap organisasi (Kriyantono, 2014, h.152). Sedangkan, Menurut
Grunig (1979:741), teori situasional of the publics (STP) mempunyai beberapa
asumsi dasar, yaitu 1.Persepsi seseorang pada suatu situasi akan menentukan
kapan dia merespons, mengapa dia merespons, bagaimana cara dia merespons dan
mengkomunikasikan situasi tersebut.
2. Individu yang berbeda diasumsikan mempunyai
perilaku yang lebih konsisten
3. Setiap individu akan berusaha beradaptasi dengan
suatu situasi dalam cara tertentu
4. Publik yang bersifat situasional tergantung pada
situasi yang dihadapi. Untuk isu tertentu seseorang secara aktif mencari
informasi tetapi untuk isu yang lain dia memilih pasif, hal ini tergantung pada
seberapa besar isu mempengaruhi kepentingannya.
5. Karena bersifat situasional, masalah atau isu
bersifat dinamis, maka publik pun bersifat dinamis.
Praktisi public
relations dapat merencanakan strategi komunikasinya lebih akurat dan efektis
jika mengetahui seberapa aktif publik dalam mencari informasi (Lattimore, dkk.,
2007). Teori STP dapat dijadikan acuan bagi praktisi public relations untuk
bersikap lebih etis dalam kampanyenya. Karena teori ini membagi publik ke dalam
beberapa kategori, sehingga kampanye public relations diharapkan dapat
memengaruhi mereka menjadi aktif.
Teori strukturasi
Teori Strukturasi digagas oleh Anthony Giddens pada
1984 (Falkheimer, 2007) dan dibangun berdasarkan teori interaksi sosial.
Giddens membangun teori ini berdasarkan pandangannya bahwa individu mempunyai
kemampuan mengubah struktur sosial. Menurut giddens, individu bebas dalam
memilih perilaku komunikasinya sehingga memengaruhi terciptanya struktur
tertentu. Komunikasi dalam suatu sistem sosial merupakan hasil produksi
perilaku komunikasi individu dan struktur sosial perilaku sosial. Komunikasi
dalam suatu sistem sosial juga terbentuk dari hasil perpaduan perilaku
komunikasi individu dan struktur sosial. Perilaku sosial termasuk perilaku
komunikasi sosial, terbangun dari hasil strukturasi, yaitu proses memproduks
dan mereproduksi struktur yang dilakukan melalui interaksi sosial.
Adapun funsgsi struktur bagi suatu organisasi
(Daiton & Zelley, 2015 : 182 dalam Kriyantono, 2014 : 236):
Struktur menyediakan berbagai sarana koordinasi dan kontrol.
Struktur membantu anggota organisasi mendefinisikan identitas mereka di dalam
organisasi.
Struktur menyediakan sarana untuk memonitor prestasi kerja.
Struktur membantu organisasi berhubungan dengan lingkungannya.
Teori strukturasi berpendapat
bahwa melalui proses strukturasi, indidividu bebas dalam memilih perilaku
komunikasinya (agency) sehingga tercipta
struktur tertentu. Giddens menyebut sebagai struktur baru. Tetapi struktur ini
sangat dipengaruhi pengalaman perilaku atau harapan-harapan sebelumnya. Tetapi
di sisi lain, setelah direproduksi menjadi lebih formal, struktur itu aka
menjadi pemandu perilaku individu. Sebagai panduan, pada dasarnya juga
berfungsi membatasi perilaku individu. Kondisi ini disebut a double-edged sword. Struktur diciptakan
oleh dan mengikat perilaku invidu. Situasi ini disebut sebagai dualitas
struktur (duality of structure). Artinya, struktur mengandung dua sisi yang
kontradiktif ( Kriyantono, 2014 : 239).
Menurut teori strukturasi, organisasi, struktur dan
agency hidup dalam konteks ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan kondisi
dasar bagi sistem sosial dan perilaku sosial. Struktur organisasi diproduksi,
direproduksi, atau ditransformasi melalui proses repetisi oleh perilaku
individu dalam interaksi sosialnya. Kesimpulannya, struktur organisasi dibuat
oleh anggota organisasi dan ditempatkan serta diubah sesuai konteks ruang dan
waktu. “Struktur organisasi adalah media bagi agency sekaligus hasil dari interaksi agency”
(Falkheimer, 2007 : 288 dalam Kriyanton, 2014 : 240). Peran praktisi public
relations yaitu menjadi mediator menghubungkan antara struktur di satu sisi dan
agency di sisi lainnya, sehingga dualitas struktur bisa berjalan harmoni.
Berdasarkan teori ini,
proses public relations sebagai suatu proses komunkasi yang dinamis dimaknai bukan
hanya dilakukan oleh praktisi public relations, melainkan oleh semua anggota
organisasi. Sehingga, proses public relations dipandang sebagai proses yang
mendukung semua level di dalam organisasi bukan fungsi top manajemen yang
terisolasi. Tujuannya alah untuk memberikan peluang anggota organisasi
mengkonstruksi realitas sosial sehingga menciptakan pengertian bersama. Peran praktisi public relations yaitu
mengkomodasi dan mengarahkan proses strukturasi agar tidak melenceng dari
tujuan organisasi. Teori strukturasi memandang praktisi public relations
sebagai kekuatan komunikasi yang melayani terjadinya reproduksi dan/atau
transformasi suatu ideology dominan dari suatu organisasi.
Resume
Jurnal Komunikasi
“Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia”
Rachmat Kriyantono & Bernard McKenna
Sumber : http://ejournal.ukm.my/mjc/article/view/17165
Artikel
“Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia” memandang
studi public relations dan prakteknya melalui perspektif Indonesia. Sebagai terapan
Ilmu Komunikasi, public relations telah didominasi oleh perspektif Barat.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk merangsang perkembangan teori public
relations dengan mengadopsi kearifan lokal Indonesia, kolaborasi teoritis
Indonesia-Barat, dan refleksi kritis pada teori Barat. Para penulis telah mengeksplor
beberapa pepatah/peribahasa Indonesia yang mewakili kearifan lokal Indonesia
untuk mencari persamaan dan perbedaan antara perspektif Barat dan Indonesia.
Para penulis menyajikan perspektif Indonesia secara normatif sebagai dasar
untuk membangun teori public relations di masa depan dalam konteks Indonesia.
Budaya, tradisi, dan norma-norma moral suatu negara dapat dipertahankan
meskipun negara tersebut dapat mengalami transformasi cepat menuju perekonomian
dan gaya hidup Barat.
Public Relations Adalah Disiplin
Ilmiah Baru dalam Bidang Komunikasi
Keberadaan
Public Relations adalah setua peradaban manusia karena kebutuhan individu untuk
membujuk orang lain (Kriyantono, 2014; Newsom, Scott, & Turki, 1993). PR
juga merupakan aktivitas yang terjadi di mana-mana (obiquitos activity) (Horsley,
2009), karena “prinsip bisnis public relations telah dikenal, dipelajari, dan
dipraktikkan selama berabad-abad.” (Leahigh, 1993, hal. 24). Studi akademis public
relations sering lebih berfokus pada kegiatan-kegiatan praktis yang dikenal
dengan PR sebagai praktek atau sebagai alat (Ardianto, 2004; Skerlep, 2001). Menurut
Edward Bernays dan Edward Robinson, public relations merupakan ilmu sosial dan
terapan karena mengintegrasikan unsur-unsur teoritis dan praktis.
Meskipun
demikian, Public Relations berkembang menjadi disiplin komunikasi terapan selama
25 tahun terakhir, yaitu praktek komunikasi perusahaan dan secara teoritis dan
research based area (Botan & Hazleton, 2009; Ihlen & Ruler, 2007,
2009). Hal tersebut dikarenakan bidang public relations telah meminjam atau mengadaptasi
banyak teori-teori dari disiplin lain, juga didefinisikan sebagai manajemen
hubungan dan manajemen komunikasi. PR tidak bisa matang kecuali membangun teori
asli dari konsep-konsep yang dipinjam (J. E. Grunig, 1989). pengembangan teori
ini akan datang dari akademisi dan praktisi (Johansson, 2007; Wehmeier, 2009).
Beberapa literatur, seperti Botan & Hazleton (1989); Greenwood (2010);
Grunig & Hunt (1984); Grunig (1989); Hallahan (1999); Ihlen & van Ruler
(2007, 2009); dan Sisco, Collin, & Zoch (2011), menyatakan bahwa public
relations adalah ilmu sosial multi-disiplin.
Kebutuhan
Public Relations untuk menjadi ilmu bukan hanya sebuah profesi, mulai sejak
pertengahan tahun 1970-an (Sisco et al., 2011). Hal ini terbukti dari artikel
yang muncul pada Review Public Relations pada tahun 1975 mengenai penelitian
dan temuan, bukan hanya artikel tentang profesi. Bukti lebih lanjut bahwa PR sebagai
ilmu dapat ditemukan dari studi Sallot, Lyon, Acosta-Alzura, & Jones
(2003), yang menemukan bahwa artikel tentang public relations dalam Public
Relations Review, Penelitian Tahunan Public Relations dan Penelitian Journal of
Public Relations tidak hanya tentang 'praktik atau aplikasi' tetapi juga
'introspectively' mempertimbangkan fungsi public relations dan tema pendidikan
dan 'pengembangan teori'. Jumlah dari artikel
mengenai “pengembangan teori” juga telah meningkat dua kali lipat dalam edisi 2001-2003
dibandingkan dengan edisi 1984-2000.
Dominasi Perspektif Barat
Perkembangan
pengetahuan public relations berat sebelah karena fokus bangunan teori telah
terbatas terutama ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat.” (
Sriramesh & Vercic, 2003a,: xxv). Penelitian Dissanayake (1988) di
negara-negara Asia Tenggara mengungkapkan bahwa 71 persen dari bahan yang
digunakan dalam kursus pengajaran teori komunikasi berasal dari Amerika. Dalam
studi lain di Asia Selatan, Dissanayake (1988) menemukan persentase yang lebih
tinggi, yaitu 78 persen. Selain itu, tidak ada ilmuwan Asia berada di daftar
ketika Rogers (1997) menulis sejarah studi komunikasi: semua berasal dari
Amerika Serikat dan Eropa.
Gagasan
bahwa kita juga perlu mempelajari komunikasi dari perspektif Timur (Asia) muncul
baru-baru ini (Dissayanake, 1988; Gunaratne, 2009; Kriyantono, 2014; Littlejohn
& Foss, 2008; Raharjo, 2013) . Di antara 27 teori public relations berasal
dan teori-teori yang dipinjam, tidak satupun dari mereka adalah perspektif
Timur atau Indonesia (Kriyantono, 2014). Beberapa negara Asia telah menciptakan
teori-teori komunikasi dari perspektif mereka sendiri, seperti Teori Komunikasi
Cina, Teori Komunikasi India, Teori Harmony Chinese, Teori Komunikasi Konghucu,
Teori Kuuki Jepang, dan Teori Komunikasi Tao. Akan tetapi tidak ada teori
tunggal yang muncul dari perspektif Indonesia. Selain itu, para ilmuwan Barat
telah menemukan kesulitan dalam memperoleh karya ilmiah Indonesia tentang
fenomena komunikasi dalam konteks Indonesia termasukpublic relations. Tidak banyak ilmuwan
Indonesia mengeksplorasi kearifan lokal sebagai dasar untuk membangun
teori-teori komunikasi yang relevan dengan konteks Indonesia (Raharjo, 2013).
Saat
ini, Dunia Barat masih menjadi pusat studi public relations di Indonesia
(Kriyantono, 2014; Raharjo, 2013). Dominasi perspektif Barat telah disebabkan
oleh lima faktor. Pertama, keterlambatan pendidikan pribumi Indonesia karena
penjajahan selama berabad-abad (sekitar 350 tahun) telah memberikan pengaruh
kolonisasi yang mendalam. Kolonisasi ini telah mempengaruhi pola berpikir dengan
memberlakukan penelitian dengan lensa Barat (Achmad, 2012). Kedua, sistem
politik otoriter di bawah rezim Presiden Soekarno (1945-1966) dan rezim kedua
Presiden Soeharto (1966-1998) yang menahan kebebasan berbicara. Meskipun era
reformasi Mei 1998 memberi kebebasan berbicara untuk mengekspresikan opini yang
beragam, ini adalah fenomena atau transisi yang relatif baru era demokrasi di
Indonesia (Rasul, Rahim, & Salman, 2015). Ketiga, sangat sedikit studi
publikasi internasional public relations dari perspektif Indonesia (Hobart,
2006; Kriyantono, 2014; Raharjo, 2013), dan, sebagai akibatnya, tidak ada dasar
umum. Keempat, karena bahasa Inggris adalah bahasa yang dominan dari penelitian
komunikasi, orientasi Anglophone telah mendominasi penelitian. Akhirnya, karena
banyak sarjana Indonesia telah belajar di negara-negara Barat, seperti
Australia, Amerika Serikat, Inggris, Perancis atau Jerman mereka telah terpengaruh
perspektif Barat. Yusoff dan Hanafiah (2015) menyatakan bahwa perspektif Barat
telah mempengaruhi perspektif lokal melalui pendidikan, hiburan, dan teknologi
komunikasi.
Kearifan Lokal Adalah Empirik dan
Pragmatis
Kearifan
lokal adalah pengalaman lokal dan ide-ide dari kebijaksanaan dan kebaikan
nilai-nilai yang terinternalisasi di antara generasi dalam suatu masyarakat
tertentu (Radmilla, 2011). Nilai-nilai tersebut tertanam sebagai moral yang
dipatuhi oleh masyarakat sebagai dasar harmoni. Kearifan lokal dikembangkan
dari kesadaran komunal yang muncul dari interaksi sosial yang diakumulasi dan
mengkristal menjadi doktrin moralitas (kode etik). Doktrin-doktrin ini biasanya
disebarkan melalui berbagai saluran komunikasi tradisional, seperti legenda,
dongeng, cerita rakyat, komunikasi word of mouth (Indonesia: gethok tular),
drama tradisional, lagu, dan peribahasa. Kearifan lokal telah menjadi tradisi
untuk membimbing kehidupan masyarakat karena dibangun dari integrasi nilai-nilai dan budaya
masyarakat, sistem kepercayaan teistik, dan aspek geografis (Kriyantono, 2014).
Sistem kepercayaan diwakili oleh pepatah Iduik bajaso, mati bapusako (artinya:
hidup untuk rendering layanan, mati untuk memiliki pusaka). Dalam kegiatan
public relations, kearifan lokal ini harus menjadi dasar untuk mengembangkan
kegiatan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) dan pemasaran
sosial perusahaan, kegiatan yang melakukan hal-hal yang baik dan bermakna bagi
masyarakat.
Kearifan
lokal Indonesia adalah panduan untuk komunikasi dan interaksi dalam masyarakat
Indonesia sebab hal tersebut dibangun dari sistem kepercayaan, nilai-nilai
budaya dan geografi masyarakat setempat. Kearifan lokal adalah empiris dan
panduan pragmatis untuk memecahkan masalah. Gagal untuk menggabungkan kearifan
lokal masyarakat adat dan praktek nya dalam teori dan praktek public relations
di Indonesia berarti bahwa teori dan praktek tersebut akan relatif tidak
efektif karena tidak ketidakrelevanannya. Lebih buruk lagi, jika teori
berdasarkan Dunia Barat dan prakteknya efektif, maka hasilnya akan menjadi
erosi lebih lanjut dari budaya asli dan peningkatan hegemoni budaya Barat,
praktek, sistem kepercayaan, dan ideologi.
Hasil dan Diskusi
Terdapat
lima tema yang muncul dari kearifan local di Indonesia. Kelima konsep tersebut menjadi
kearifan lokal selama berabad-abad, oleh karena itu, konsep tersebut harus
dipromosikan untuk mengembangkan teori public relations yang relevan dengan
budaya Indonesia.
a.
Musyawarah mufakat sebagai penentuan keputusan di Indonesia
Tampaknya
kearifan lokal Indonesia konsisten dengan model simetris dua arah. Model ini,
seperti yang dijelaskan dalam Model Excellent Public Relations (JE Grunig,
1989, 2008; JE Grunig & Hunt, 1984) dan dialogis Humas Teori (Kent &
Taylor, 2002), mengusulkan bahwa public relations memainkan dua peran
sekaligus: satu di sisi manajemen, lain di sisi publik dengan semangat untuk
membangun kompromi. Public relations memfasilitasi penyebaran informasi kepada
masyarakat secara langsung dan berbicara kepada manajemen tentang kebutuhan
masyarakat. Fungsi komunikasi sebagai negosiasi dan kompromi alat untuk
menciptakan solusi yang saling memuaskan. Model tersebut sesuai dengan
perspektif Indonesia yaitu musyawarah mufakat / rembugan, pengambilan keputusan
dengan dialog. Menurut Pancasila, lima filosofi dasar prinsip dimasukkan ke
dalam konstitusi Indonesia, musyawarah mufakat, adalah strategi utama untuk
membuat keputusan daripada voting. Ini adalah kebalikan dari kekuasaan
mayoritas yang terjadi di sebagian besar negara perspektif Barat di mana bentuk
proses demokrasi lebih mewakili berbagai pendapat. Dengan demikian, di Jawa,
keputusan (seperti dalam masyarakat atau pemerintah daerah) biasanya tidak
didasarkan pada mayoritas namun berdasarkan perjanjian. Nenek moyang mengajarkan
yen ana rembug dirembug, nanging olehe ngrembug Kanthi ati bernyanyi sareh,
memecahkan masalah melalui dialog dengan tenang, sabar, dan berpikir jernih
(dialog = rembug atau musyawarah).
b.
Menjaga hubungan timbal balik yang didasarkan pada harmoni dalam sistem
Sebagai
bagian dari sistem sosial, proses public relations harus mengarahkan organisasi
untuk mencapai harmoni dalam sistem di mana ia beroperasi. harmoni ini dikenal
sebagai runtut raut sauyunan, yaitu hidup rukun dan damai bersama-sama; rukun
agawe santosa, crah agawe bubrah, guyub rukun, yaitu, jika kita hidup dalam
damai dan harmoni kita akan makmur, jika kita hidup dalam pertengkaran kita
akan menderita. Organisasi harus rampa’naong
beringin korong berdaun dan teduh, yaitu organisasi melindungi masyarakat
seolah-olah itu adalah pohon beringin untuk membuat hidup harmonis,
solidaritas, dan merangsang swadaya masyarakat (gotong royong).
Sebuah
strategi komunikasi yang berhubungan dengan masyarakat dari perspektif
Indonesia bisa dilakukan dengan menerapkan pepatah dari silih asah, silih asih,
silih asuh (mengajar, cinta, dan menjaga satu sama lain). Hasil asah silih
dalam memberikan informasi secara teratur melalui dua saluran timbal balik.
Informasi ini terdiri dari setiap upaya untuk mendidik dan memotivasi
masyarakat untuk mendukung organisasi. Namun, sebelum menyebarkan informasi, PR
harus mengeksplorasi kebutuhan masyarakat dengan melakukan penelitian. Itu
sebabnya, silih asah merangsang hubungan masyarakat untuk melakukan kegiatan
berdasarkan rasional-ilmiah: penelitian dan dialog sehingga PR “berdasarkan
fakta” (Newsom et al., 1993).
c.
Perspektif Indonesia mengenai Deklarasi Prinsip (Tell the truth)
Mengatakan
sesuatu berdasarkan prinsip kebenaran adalah dasar dalam praktik public
relations untuk membangun kepercayaan (J. E. Grunig & Hunt, 1984; Lattimore
et al, 2007.). Perspektif Indonesia mengatakan ajining diri dumunung ana ing lathi dan basa iku busananing bangsa,
yaitu kehormatan pribadi adalah pada kata-kata seseorang. Dengan memberikan
terbuka, informasi yang benar, sebuah organisasi akan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat akan informasi dan untuk mendapatkan kepercayaan publik yang akan
merangsang dukungan publik dan kerjasama. Pentingnya mengatakan hal yang
sebenarnya direpresentasikan dalam jeung leweh mah memperbaiki waleh (lebih
baik untuk mengatakan sesuatu terus terang daripada menjaga kata karena tidak
cukup berani untuk memberitahu). Pandangan Indonesia adalah bahwa mengatakan
kebenaran harus sejalan dengan harmoni. Seperti yang dinyatakan sebelumnya,
kepercayaan Indonesia di atunggal loro-loroning atau prinsip monodualism
(Purwadi, 2011) menganggap bahwa jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan.
kearifan lokal ini juga muncul dalam praktek hubungan masyarakat. Misalnya,
ketika penerbangan Air Asia 8501 dari Surabaya di Indonesia ke Singapura jatuh
ke Laut Jawa dengan memakan korban 162 orang di 28 Desember 2014. wartawan
mencari informasi rinci tentang tubuh penumpang yang sedang diambil. Namun,
juru bicara polisi mengatakan bahwa dia tidak bisa menyampaikan informasi secara
rinci untuk menghormati keluarga penumpang. Dapat dikatakan bahwa penolakan untuk
memberikan informasi detail mengenai kondisi penumpang mayat dihormati
kebanyakan keluarga dengan keyakinan bahwa individu tidak dapat dipisahkan dari
keluarga (hubungan darah) karena prinsip-prinsip keutuhan dan kesatuan publik.
d.
Blusukan sebagai alat fasilitator komunikasi
Teori
barat halo effect dan the primacy effect memiliki kesejajaran dengan keyakinan
Indonesia. Efek halo berarti bahwa persepsi kita terhadap suatu benda atau
orang dipengaruhi oleh kinerja fisik objek, sedangkan efek keutamaan berarti
bahwa persepsi kita sangat dipengaruhi oleh gambar pertama dari objek atau
orang. Dalam hal ini, perilaku anggota semua organisasi berkontribusi untuk
mengkomunikasikan citra publik organisasi. Oleh karena itu, semua orang adalah
public relations dan Anda adalah PR pada diri anda sendiri. Menurut Kriyantono
(2014), perspektif Indonesia menawarkan penjelasan serupa melalui ajining raga
ana ing busana (secara fisik, kehormatan pribadi dapat dilihat dengan cara
berdandan). perspektif menunjukkan bahwa bagaimana penampilan public relations akan
mempengaruhi citra public.
Blusukan
mirip dengan konsep Barat “managing by walking around” karena fungsi mereka
adalah gethok tular; Namun perspektif
Indonesia lebih berfokus pada aspek emosional, seperti sambung roso, untuk
membangun hubungan.
Dengan
melakukan blusukan, public relations mampu menghasilkan gethok tular (komunikasi
word of mouth) secara langsung untuk menyebarkan informasi dari manajemen untuk
meminimalkan kesalahan persepsi. Secara internal, public relations ditempatkan
untuk menghentikan rumor yang tidak akurat yang menyebar dengan cepat dari
mulut ke mulut dalam sebuah organisasi. Public relations memonitor lingkungan
mengadopsi peran masalah manajemen untuk mengantisipasi krisis dengan
menanyakan apa yang terjadi. Perspektif Indonesia mengatakan Jaga pagarra
dibi'ja’parlo ajaga pagarra oreng laen (menjaga gerbang Anda sendiri, jangan
terus lainnya), yaitu jika krisis terjadi, organisasi seharusnya tidak
menyalahkan pihak lain.
Perspektif Lokal Terhadap Dua
Preposisi Dasar
Public
Relations memiliki dua proposisi: (1) Public relations sebagai fungsi
manajemen; (2) PR bertanggung jawab untuk mengelola hubungan antara organisasi
dan publik. Hal ini dikenal sebagai paradigma ekologi karena
proposisi-proposisi ini membutuhkan adaptasi, seleksi, dan penyesuaian (Cutlip,
Center, & Broom, 2006; Everett, 2009). Cutlip (1952, dikutip dalam Cutlip
et al, 2006;. Everett, 2009; Greenwood, 2010) telah menggunakan konsep ekologi
ketika ia didefinisikan public relations sebagai saling ketergantungan
(menyesuaikan & beradaptasi) antara organisasi dan lingkungannya. Adaptasi
dan penyesuaian, umumnya, adalah pemikiran dasar dari masyarakat Indonesia yang
diinternalisasikan sebagai karakter filosofis masyarakat.
Indonesia
memiliki karakteristik Asia yang menekankan tanggung jawab timbal balik antara
individu dan masyarakat, selaras dengan lingkungan, dan dengan asumsi bahwa
dunia adalah saling berhubungan dan saling tergantung secara keseluruhan.
Selama berabad-abad, banyak dari kearifan lokal Indonesia telah didasarkan pada
pentingnya adaptasi dan penyesuaian, seperti jip kang sui suan, jip koi sui
nyak, (Jika Anda memasukkan sungai untuk berenang atau pengiriman, Anda harus
mengikuti kurva, memasuki desa mengikuti adat istiadat; sai bumi Ruwa jurai
(satu bumi untuk dua komunitas yang berbeda); teposliro (perasaan empati); dima
nagari diunyi, disitu Dipakai adat (di mana pun Anda tinggal, Anda harus
mengikuti adat istiadat) Secara kolektif, kearifan local ini berarti. bahwa
individu harus menghormati budaya lokal tanpa kehilangan budaya sendiri, agar
berhasil beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan. Organisasi harus
mengembangkan teposliro (sikap merasa perasaan publik). Prinsip teposliro
diwakili dalam rumongso pepatah ojo biso, kudu biso rumongso (Jangan merasa
bahwa Anda bisa, tetapi Anda harus dapat merasakan).
Kesimpulan
Dapat
dibuktikan bahwa public relations dalam konteks Indonesia dapat dilakukan
sesuai dengan kearifan lokal. Jadi tidak perlu mengadopsi seluruh
prinsip-prinsip Barat ke dalam teori atau praktek. Oleh karena itu artikel ini
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan teori public relations dari perspektif
Timur, khususnya Indonesia. Dengan cara ini, budaya dan tradisi, dan norma-norma
moral suatu negara dapat dipertahankan meskipun negara itu dapat mengalami
transformasi cepat menuju perekonomian dan gaya hidup yang lebih Barat. Dengan
membatasi proses hegemoni teori dan praktik Barat, tatanan global yang lebih
beragam dan penuh hormat dimungkinkan.
Daftar Pustaka
Kriyantono, R. (2014). Teori public relations, perspektif barat dan
lokal . Jakarta: Prenadamedia
Kriyantono dan McKenna. (2017). “Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for
Older Post | Newer Post
Hello there earthlings! You have stepped onto Enchance-me. My name is Anita Christina. I'm the writer of this blog! Do follow, thanks.
Twitter
|