enchance-me
Resume Theories of Public Relations & Jurnal Komunikasi “Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia”
Monday, April 10, 2017 | 4:44 PM | 0 comments
Theories of Public Relations

Teori Sistem 
Teori Sistem diadopsi dari biologi yang digagas oleh Ludwig van Bertanaffy pada 1940-1950an. Beliau mengatakan pentingnya salingketerhubungan antara semua elemen tubuh. Setiap manusia atau sistem sosial seperti organisme fisik, living organism, ekonomi, efek media pada khalayak, dan sistem matemarika dikelilingi oleh batas-batas yang cair, yang memungkinkan saling perngaruh dan tidak hidup secara terisolasi (Hearg, 2005;Krippendorf, 2008). Dari biologi teori sistem berkembang menjadi teori interdisipliner dan diadopsi beberapa pakar bidang ilmu yang berbeda.Teori sistem adalah sebuah dasar kehidupan manusia yang saling berhubungan, bagaimana sistem dalam suatu relasi itu bersifat dinamis dengan system lainnya (Kriyantono, 2014, h.77).  Teori ini juga mengajarkan pentingnya menjalin hubungan sosial yang baik dalam suatu organisasi terhadap publiknya dan saling mempengaruhi. Praktisi Public Relations dapat menjadikan teori ini sebagai dasar menjalin hubungan dengan publiknya. Hal tersebut dikarenakan public relations memiliki kemampuan mempengaruhi berfungsinya keseluruhan sistem organisasi (Laborde, 2005)
Adapun sebagai sistem, organisasi memiliki karakteristik yaitu:
a. Keseluruhan dan saling bergantungan (Wholeness and Interdependence) 
Organisasi adalah satu kesatuan yang saling berhubungan dan ketergantungan. Jika salah satu sistem tidak berfungsi dengan baik maka sistem-sistem yang lain akan terganggu. 
b. Hierarki (Hierarchy)
Suatu Sistem terdiri suatu sistem yang lebih besar (sub sub sistem dan suprasistem). Dalam organisasi yaitu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem  seperti: departemen public relations, marketing, keuangan, human resources. Masing masing departemen terdiri dari  suprasistem seperti department public relations adalah supra dari eksternal relations, dan internal relations. c.Peraturan sendiri dan control  (Self regulation and control) 
Aktivitas sistem diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (sistem mengatur perilakunya dalam mencapai tujuan tersebut.) wujudnya berupa peraturan  berupa SOP (standars operational procedures). Seperti contoh, departemen public relations mempunyai aturan mengenai membuat press release, membuat konferensi pers.  
d. Pertukaran dengan lingkungan (Interchange with the environment) 
sistem berinteraksi dengan lingkungan nya atau saling mempengaruhi satu sama lain. Adanya input dan output dari hasil interaksi komunikasi. 
e.Keseimbangan (balance) 
keseimbangan akan dapat dicapai jika suatu system berfungsi dengan baik. Sistem yang berfungsi dengan baik disebut homeostatis atau ekuilibrum. Kondisi ekuilibrium bagi organisasi berart isetiap susbsistem (departemen dan staf) melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik untuk mendukung eksistensi organisasi secara keseluruhan. 
f. Perubahan dan kemampuan adaptasi (change and adaptability) 
untuk mencapai keseimbangan, system harus memiliki kemampuan   dalam menyesuakian sistem terhadap lingkungan. Seperti contoh, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku konsumen, perubahan daya kritis konsumen.

g. Sama tujuan (Equifinality) 
sistem memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan bentuk visi misi yang mengarahkan perilaku setiap anggota sistem. (Kriyantono, 2014)

            Berdasarkan teori sistem ini, aktivitas public relations melekat pada semua elemen sistem. Bagaikan tubuh manusia, jika tangan sakit maka bagian tubuh lainnya ikut merasakan. Jika karyawan berulah negative maka manajemen akan terkena imbasnya (Kriyantono,2012a:10)
Boundary Spanning
            Boundary spanning merupakan istilah fungsi public relations sebagai penghubung antara organisasi dengan lingkungannya. Public relations berinteraksi dengan lingkungannya untuk monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Kemudian informasi tersebut disampaikan kepada kelompok dominan dalam organisasi. Fungsi “boundary spanning” dapat dikatakan sebagai aktifitas “gate keeper”.

Aktivitas pelaksanaan boundary spanning yang dilakukan oleh praktisi public relations antara lain:
1. Menjelaskan informasi tentang organisasinya kepada publik (lingkungannya). Praktisi public relations harus menginterpretasi filosofi, kebijakan, program, dan apa yang dipikirkan manajemen agar dapat dimengerti oleh publiknya. Informasi ini merupakan input bagi publik. Selanjutnya, praktisi public relations menyeleksi, menerima, dan menyampaikan informasi dari publik kepada organisasi. Ini adalah umpan balik dan merupakan input bagi organisasi.
2. Memonitor lingkungan sehingga mengetahui apa yang terjadi dan menginterpretasi isu-isu yang potensial memengaruhi aktivitas organisasi dan membantu manajemen merespons isu-isu tersebut melalui aktivitas isu manajemen. Di sini praktisi public relations bertindak sebagai mitra manajemen untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang mungkin muncul.
3. Membangun sistem komunikasi dua arah dengan publiknya agar organisasi dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Praktisi public relations merupakan seorang fasilitator komunikasi.
Relationship Management Theory. 
Teori Relationship Management merupakan teori penting dari public relations, karena terkait dengan fungsi dasar public relations, yaitu aktivitas komunikasi yang menguhubungkan organisasi dan public. Teori ini focus membahas proses memanajemen relasi antara organisasi dan publiknya, internal maupun eksternal, karenanya teori ini juga dikenal sebagai pusat atau inti public relations. Teori ini juga dikenal sebagai teori organization-public relationship (OPR), karena dalam praktik public relations , komunikasi ditunjukan untuk menjaga keuntungan yang bisa dirasajab para peserta komuunikasi, organisasi, dan public, yaitu ada suatu keseimbangan kepentingan antara keduanya.
Dalam tulisan Ledingham (2006) dan Waters (2008), dapat disampaikan beberapa metode pengukuran. Metode yang paling banyak digunakan yaitu metode  yang ditawarkan How&Grunig berisi empat dimensi yaitu : kepercayaan (trust), komitmen, kepuasan (satisfaction), dan control kesamaan (control mutuality).
Teori Matematika Komunikasi, Uncertainty Reduction Theory
            Claude Shannon dan Warren Weaver membuat model yang dipublikasikan melalui buku The Mathematical Theory of Communication pada 1949. Teori ini mengambarkan proses komunikasi antarmanusia sebagai proses transmisi yang linier antara komunikator kepada komunikan.  Dalam model ini, Shannon-Weaver mengenalkan beberapa konsep yang saling berkaitan, yaitu konsep gangguan (noise), transmiter, sumber (source), signal, receiver, destination, entropi, dan informasi.
            Model Shannon dan Weaver mengasumsikan bahwa sumber informasi menghasilkan suatu pesan untuk dikomunikasikan dari separangkat pesan yang dimungkinkan. Pesan itu bisa dalam bentuk kata lisan atau tulisan, musik, gambar, dan lain sebagainya. Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi suatu sinyal yang sesuai dengan saluran yang digunakan. Saluran (Channel) adalah medium yang mengirimkan sinyal (tanda) dari transmitter ke penerima (receiver). Dalam percakapan, sumber informasi adalah otak, transmitter-nya adalah mekanisme suara yang menghasilkan sinyal (kata-kata yang terucap), yang ditransmisikan lewat udara (sebagai saluran). Penerima (receiver), yakni mekanisme pendengaran, melakukan operasi yang sebaliknya yang dilakukan transmiter dengan merekonstruksi pesan dari sinyal. Sasaran (distination) adalah (otak) orang menjadi tujuan pesan itu. (Mulyana,2003). Konsep lain yang merupakan yang merupakan andil Shannon dan Weaver adalah entropi (entrophy) dan redundansi (redundancy) serta keseimbangan yang diperulukan di antara keduanya untuk menghasilkan komunikasi yang efisien dan pada saat yang sama mengatasi ganguan dalam saluran.
Uncertainty Reduction Theory
Teori pengurangan ketidakpastian diciptakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Teori ini menjelaskan bagaimana cara manusia mengumpulkan informasi untuk mengurangi ketidakpastian yang dialami. Ketidakpastian diartikan sebagai ketidakmampuan individu untuk memprediksi atau menjelaskan perilakunya dan perilaku orang lain (Kriyantono, 2014). Tujuan komunikasi yaitu untuk mengurangi ketidakpastian, karena itu kita berusaha mengurangi ketidakpastian dengan cara mencari informasi. Komunikasi dapat dipahami sebagai alat untuk mengurangi ketidakpastian. Fungsi komunikasi dalam hal ini adalah untuk mendapatkan informasi, dan untuk membuat prediksi atau penjelasan tentang makna perilaku lawan bicara.
Tugas pokok public relations yaitu menciptakan citra positif dan mendukung reputasi positif organisasi di mata publiknya. Citra positif dapat terbentuk apabila public mempunyai persepsi yang positif terhadap organisasi. Persepsi ini harus lengkap sehingga tidak menimbulkan salah persepsi. Publik harus dalam kondisi kecukupan informasi agar tidak ada kesenjangan informasi antara organisasi dengan publiknya.
Berdasarkan teori uncertainty reduction, Heath (2005) menyarankan praktisi public relations untuk meminimalkan ketidakpastian dengan strategi
a. Mengumumkan berbagai perubahan sedini mungkin bagi semua publik terlibat.
b. Memfasilitasi partisipasi staf dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah.
c. Menjaga agar aliran informasi terjadwal dengan baik.
d. Apabila tidak dapat menyediakan informasi dengan baik, public relations harus dapat menjelaskan alasannya.
e. Menjelaskan segala kebijakan atau keputusan yang diambil manajemen, termasuk alasan keputusan tersebut.
f. Menjaga kepercayaan publik terhadap organisasi.

Teori excellence dan Contingency of Accomodation Theory
            Teori excellence diperkenalkan oleh James Grunig dan Hunt dalam buku Managing Public Ralations. Teori Excellence berangkat dari empat model PR (Press Agentry, public information, two way assymetrical,dan two way symmetric theory) dan teori situasional of the public dengan lebih menekankan pada aspek negosiasi dan kompromi.
Teori excellence menganggap public relations bukan lagi sekedar berperan sebagai alat persuasif atau sebagai teknisi komunikasi untuk menyebarluaskan komunikasi. Namun public relations dianggap sebagai ahli yang melaksanakan peran sebagai manajer yang menggunakan penelitian dan dialog untuk membangun hubungan yang sehat dengan publiknya.
Teori excellence mendapat kritik dari pakar yang menilai model normatif ini sulit ditemukan dalam praktik public relations. Pakar-pakar tersebut adalah Cameron, dkk. (2001), Cancel, dkk. (1997), Reber & Cameron (2003). Pengkritik tersebut menilai sulit bagi organisasi yang hanya berfokus menerapkan model two-way symmetric dan menawarkan teori baru yaitu contingency theory of accommodation in public relations (teori CA), yang berpendapat bahwa two-way symmetric dan win-win solution sulit diterapkan sebagai bentuk ideal. Karena dalam kenyataan factor aturan atau legal sering tidak memungkinkan public untuk menang. Sebaliknya, organsasi yang memosisikan dirinya pada suatu kontinum antara bersikap akomodasi dan bersikap advokasi saat berhadapan dengan publiknya.
Teori ini menunjukkan bahwa public relations berkontribusi dalam membangun hubungan yang baik dengan lingkungannya. Dan kualitas public relations dapat diukur dengan cara mengevaluasi kualitas hubungan antara organisasi dan publiknya yaitu serial terus-menerus yang secara perlahan membuat kedua pihak terintegrasikan sehingga sulit menentukan titik awal dan akhir hubungan. (Kriyantono, 2014, h. 105-110)
Agar dapat menghasilkan proses public relations yang excellence, teori ini memberikan 10 premis atau prinsip excellence atau factor excellence. Premis yang merupakan hasil dari penelitian terhadap 327 organisasi di tiga negara yang kemudian hasilnya dianalisis menggunakan teori komunikasi, public relations, manajemen, psikologi organisasi, sosiologi organisasi, psikologi social, psikologi kognisis, feminism, ilmu politik, pembuatan keputusan dan budaya (Grunig, dkk., 2008, dikutip di Kriyantono, 2014).
Contingency of Accomodation Theory merupakan pelengkap dari teori excellence. Teori CA ini secara umum menjelaskan tentang hubungan organisasi dan publiknya tidak dapat benar-benar mencapai posisi two-way symmetric seperti yang ditawarkan dalam teori excellence. Praktik public relations bergerak pada suatu kontinium antara advokasi bagi organisasi atau klien dan akomodasi total bagi publiknya (Cameron, dkk dalam Kriyantono, 2014, h.119) Win-win solution yang ditawarkan model two-way symmetric tidak selamanya menjadi tawaran yang ideal bagi organisasi. Hal ini dikarenakan, ada beberapa faktor yang membuat model symmetric sulit untuk diterapkan dalam praktiknya, misalnya beberapa hal yang berkaitan dengan aturan hukum, sehingga tidak memungkinkan seorang public relations untuk memberitahukan hal tersebut kepada publik (Kriyantono,2014, h.120). Akomodasi yaitu  penyesuaian diri terhadap lingkungan, mencakup kemampuan untuk berkolaborasi dengan pihak lain. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya memberikan dukungan dan pembelaan terhadap kebijakan organisasi, jadi seorang PR layaknya penasihat hukum membela kliennya. Dikatakan kontingensi karena antara bersikap akomodasi dan advokasi, seorang PR di pengaruhi oleh faktor-faktor kemungkinan sehingga bersifat situasional. Seorang PR harus menyeimbangkan antara akomodasi dan advokasi, karena jika PR lebih fokus melakukan advokasi maka dapat dikatakan bahwa seorang PR telah melakukan proses memanipulasi publik (Kriyantono, 2014, h. 121). Public relations pada saat tertentu dapat menerapkan strategi secara bergantian, bersikap akomodatif atau advokatif tergantung variable internal dan eksternal yang mana yang dominan.

Situational Theory of The Publics
Penggagas teori ini adalah James E. Grunig yang mendeskripsikan sikap dan perilaku komunikasi dari public terhadap organisasi. pengagas teori ini menggunakan istilah publics dengan s (jamak) untuk merujuk kepada kelompok yang menjadi sasaran program public relations, antara lain jurnalis, karyawan, investor, konsumen, pemerintah atau komunitas lokal. Teori situasional membantu menjelaskan mengapa sekelompok orang aktif pada isu tertentu, yang lainnya aktif dalam banyak isu sementara yang lain bersikap apatis (Lattimore, 2010). Menurut ( Heath, 2005( dikutip di Kriyantono, 2014) bahwa teori STP bersifat situasional karena masalah atau isu datang dan pergi dan menimpa hanya pada orang-orang yang mengalami situasi problematik terkait aktivitas organisasi.
Public Relations dapat menggunakan teori ini untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan publik berdasarkan persepsi, sikap, dan perilaku publik terhadap organisasi, baik terhadap programnya, produk, maupun ketika terjadi situasi krisis. Secara umum teori ini menyatakan bahwa publik memiliki pengetahuan (knowledge) atau kesadaran (awareness) , sikap, dan perilaku tertentu terhadap organisasi (Kriyantono, 2014, h.152). Sedangkan, Menurut Grunig (1979:741), teori situasional of the publics (STP) mempunyai beberapa asumsi dasar, yaitu 1.Persepsi seseorang pada suatu situasi akan menentukan kapan dia merespons, mengapa dia merespons, bagaimana cara dia merespons dan mengkomunikasikan situasi tersebut.
2. Individu yang berbeda diasumsikan mempunyai perilaku yang lebih konsisten
3. Setiap individu akan berusaha beradaptasi dengan suatu situasi dalam cara tertentu
4. Publik yang bersifat situasional tergantung pada situasi yang dihadapi. Untuk isu tertentu seseorang secara aktif mencari informasi tetapi untuk isu yang lain dia memilih pasif, hal ini tergantung pada seberapa besar isu mempengaruhi kepentingannya.
5. Karena bersifat situasional, masalah atau isu bersifat dinamis, maka publik pun bersifat dinamis.
Praktisi public relations dapat merencanakan strategi komunikasinya lebih akurat dan efektis jika mengetahui seberapa aktif publik dalam mencari informasi (Lattimore, dkk., 2007). Teori STP dapat dijadikan acuan bagi praktisi public relations untuk bersikap lebih etis dalam kampanyenya. Karena teori ini membagi publik ke dalam beberapa kategori, sehingga kampanye public relations diharapkan dapat memengaruhi mereka menjadi aktif.

Teori strukturasi
Teori Strukturasi digagas oleh Anthony Giddens pada 1984 (Falkheimer, 2007) dan dibangun berdasarkan teori interaksi sosial. Giddens membangun teori ini berdasarkan pandangannya bahwa individu mempunyai kemampuan mengubah struktur sosial. Menurut giddens, individu bebas dalam memilih perilaku komunikasinya sehingga memengaruhi terciptanya struktur tertentu. Komunikasi dalam suatu sistem sosial merupakan hasil produksi perilaku komunikasi individu dan struktur sosial perilaku sosial. Komunikasi dalam suatu sistem sosial juga terbentuk dari hasil perpaduan perilaku komunikasi individu dan struktur sosial. Perilaku sosial termasuk perilaku komunikasi sosial, terbangun dari hasil strukturasi, yaitu proses memproduks dan mereproduksi struktur yang dilakukan melalui interaksi sosial.
Adapun funsgsi struktur bagi suatu organisasi (Daiton & Zelley, 2015 : 182 dalam Kriyantono, 2014 : 236):
Struktur menyediakan berbagai sarana koordinasi dan kontrol.
Struktur membantu anggota organisasi mendefinisikan identitas mereka di dalam organisasi.
Struktur menyediakan sarana untuk memonitor prestasi kerja.
Struktur membantu organisasi berhubungan dengan lingkungannya.

Teori strukturasi berpendapat bahwa melalui proses strukturasi, indidividu bebas dalam memilih perilaku komunikasinya (agency)  sehingga tercipta struktur tertentu. Giddens menyebut sebagai struktur baru. Tetapi struktur ini sangat dipengaruhi pengalaman perilaku atau harapan-harapan sebelumnya. Tetapi di sisi lain, setelah direproduksi menjadi lebih formal, struktur itu aka menjadi pemandu perilaku individu. Sebagai panduan, pada dasarnya juga berfungsi membatasi perilaku individu. Kondisi ini disebut  a double-edged sword. Struktur diciptakan oleh dan mengikat perilaku invidu. Situasi ini disebut sebagai dualitas struktur (duality of structure). Artinya, struktur mengandung dua sisi yang kontradiktif ( Kriyantono, 2014 : 239).
Menurut teori strukturasi, organisasi, struktur dan agency hidup dalam konteks ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan kondisi dasar bagi sistem sosial dan perilaku sosial. Struktur organisasi diproduksi, direproduksi, atau ditransformasi melalui proses repetisi oleh perilaku individu dalam interaksi sosialnya. Kesimpulannya, struktur organisasi dibuat oleh anggota organisasi dan ditempatkan serta diubah sesuai konteks ruang dan waktu. “Struktur organisasi adalah media bagi agency  sekaligus hasil dari interaksi agency” (Falkheimer, 2007 : 288 dalam Kriyanton, 2014 : 240). Peran praktisi public relations yaitu menjadi mediator menghubungkan antara struktur di satu sisi dan agency di sisi lainnya, sehingga dualitas struktur bisa berjalan harmoni.
Berdasarkan teori ini, proses public relations sebagai suatu proses komunkasi yang dinamis dimaknai bukan hanya dilakukan oleh praktisi public relations, melainkan oleh semua anggota organisasi. Sehingga, proses public relations dipandang sebagai proses yang mendukung semua level di dalam organisasi bukan fungsi top manajemen yang terisolasi. Tujuannya alah untuk memberikan peluang anggota organisasi mengkonstruksi realitas sosial sehingga menciptakan pengertian bersama.  Peran praktisi public relations yaitu mengkomodasi dan mengarahkan proses strukturasi agar tidak melenceng dari tujuan organisasi. Teori strukturasi memandang praktisi public relations sebagai kekuatan komunikasi yang melayani terjadinya reproduksi dan/atau transformasi suatu ideology dominan dari suatu organisasi.






Resume Jurnal Komunikasi
“Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia”
Rachmat Kriyantono & Bernard McKenna
Sumber : http://ejournal.ukm.my/mjc/article/view/17165

Artikel “Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia” memandang studi public relations dan prakteknya melalui perspektif Indonesia. Sebagai terapan Ilmu Komunikasi, public relations telah didominasi oleh perspektif Barat. Tujuan dari artikel ini adalah untuk merangsang perkembangan teori public relations dengan mengadopsi kearifan lokal Indonesia, kolaborasi teoritis Indonesia-Barat, dan refleksi kritis pada teori Barat. Para penulis telah mengeksplor beberapa pepatah/peribahasa Indonesia yang mewakili kearifan lokal Indonesia untuk mencari persamaan dan perbedaan antara perspektif Barat dan Indonesia. Para penulis menyajikan perspektif Indonesia secara normatif sebagai dasar untuk membangun teori public relations di masa depan dalam konteks Indonesia. Budaya, tradisi, dan norma-norma moral suatu negara dapat dipertahankan meskipun negara tersebut dapat mengalami transformasi cepat menuju perekonomian dan gaya hidup Barat.
Public Relations Adalah Disiplin Ilmiah Baru dalam Bidang Komunikasi
Keberadaan Public Relations adalah setua peradaban manusia karena kebutuhan individu untuk membujuk orang lain (Kriyantono, 2014; Newsom, Scott, & Turki, 1993). PR juga merupakan aktivitas yang terjadi di mana-mana (obiquitos activity) (Horsley, 2009), karena “prinsip bisnis public relations telah dikenal, dipelajari, dan dipraktikkan selama berabad-abad.” (Leahigh, 1993, hal. 24). Studi akademis public relations sering lebih berfokus pada kegiatan-kegiatan praktis yang dikenal dengan PR sebagai praktek atau sebagai alat (Ardianto, 2004; Skerlep, 2001). Menurut Edward Bernays dan Edward Robinson, public relations merupakan ilmu sosial dan terapan karena mengintegrasikan unsur-unsur teoritis dan praktis.
Meskipun demikian, Public Relations berkembang menjadi disiplin komunikasi terapan selama 25 tahun terakhir, yaitu praktek komunikasi perusahaan dan secara teoritis dan research based area (Botan & Hazleton, 2009; Ihlen & Ruler, 2007, 2009). Hal tersebut dikarenakan bidang public relations telah meminjam atau mengadaptasi banyak teori-teori dari disiplin lain, juga didefinisikan sebagai manajemen hubungan dan manajemen komunikasi. PR tidak bisa matang kecuali membangun teori asli dari konsep-konsep yang dipinjam (J. E. Grunig, 1989). pengembangan teori ini akan datang dari akademisi dan praktisi (Johansson, 2007; Wehmeier, 2009). Beberapa literatur, seperti Botan & Hazleton (1989); Greenwood (2010); Grunig & Hunt (1984); Grunig (1989); Hallahan (1999); Ihlen & van Ruler (2007, 2009); dan Sisco, Collin, & Zoch (2011), menyatakan bahwa public relations adalah ilmu sosial multi-disiplin.
Kebutuhan Public Relations untuk menjadi ilmu bukan hanya sebuah profesi, mulai sejak pertengahan tahun 1970-an (Sisco et al., 2011). Hal ini terbukti dari artikel yang muncul pada Review Public Relations pada tahun 1975 mengenai penelitian dan temuan, bukan hanya artikel tentang profesi. Bukti lebih lanjut bahwa PR sebagai ilmu dapat ditemukan dari studi Sallot, Lyon, Acosta-Alzura, & Jones (2003), yang menemukan bahwa artikel tentang public relations dalam Public Relations Review, Penelitian Tahunan Public Relations dan Penelitian Journal of Public Relations tidak hanya tentang 'praktik atau aplikasi' tetapi juga 'introspectively' mempertimbangkan fungsi public relations dan tema pendidikan dan 'pengembangan teori'. Jumlah  dari artikel mengenai “pengembangan teori” juga telah meningkat dua kali lipat dalam edisi 2001-2003 dibandingkan dengan edisi 1984-2000.
Dominasi Perspektif Barat
Perkembangan pengetahuan public relations berat sebelah karena fokus bangunan teori telah terbatas terutama ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat.” ( Sriramesh & Vercic, 2003a,: xxv). Penelitian Dissanayake (1988) di negara-negara Asia Tenggara mengungkapkan bahwa 71 persen dari bahan yang digunakan dalam kursus pengajaran teori komunikasi berasal dari Amerika. Dalam studi lain di Asia Selatan, Dissanayake (1988) menemukan persentase yang lebih tinggi, yaitu 78 persen. Selain itu, tidak ada ilmuwan Asia berada di daftar ketika Rogers (1997) menulis sejarah studi komunikasi: semua berasal dari Amerika Serikat dan Eropa.
Gagasan bahwa kita juga perlu mempelajari komunikasi dari perspektif Timur (Asia) muncul baru-baru ini (Dissayanake, 1988; Gunaratne, 2009; Kriyantono, 2014; Littlejohn & Foss, 2008; Raharjo, 2013) . Di antara 27 teori public relations berasal dan teori-teori yang dipinjam, tidak satupun dari mereka adalah perspektif Timur atau Indonesia (Kriyantono, 2014). Beberapa negara Asia telah menciptakan teori-teori komunikasi dari perspektif mereka sendiri, seperti Teori Komunikasi Cina, Teori Komunikasi India, Teori Harmony Chinese, Teori Komunikasi Konghucu, Teori Kuuki Jepang, dan Teori Komunikasi Tao. Akan tetapi tidak ada teori tunggal yang muncul dari perspektif Indonesia. Selain itu, para ilmuwan Barat telah menemukan kesulitan dalam memperoleh karya ilmiah Indonesia tentang fenomena komunikasi dalam konteks Indonesia  termasukpublic relations. Tidak banyak ilmuwan Indonesia mengeksplorasi kearifan lokal sebagai dasar untuk membangun teori-teori komunikasi yang relevan dengan konteks Indonesia (Raharjo, 2013).
Saat ini, Dunia Barat masih menjadi pusat studi public relations di Indonesia (Kriyantono, 2014; Raharjo, 2013). Dominasi perspektif Barat telah disebabkan oleh lima faktor. Pertama, keterlambatan pendidikan pribumi Indonesia karena penjajahan selama berabad-abad (sekitar 350 tahun) telah memberikan pengaruh kolonisasi yang mendalam. Kolonisasi ini telah mempengaruhi pola berpikir dengan memberlakukan penelitian dengan lensa Barat (Achmad, 2012). Kedua, sistem politik otoriter di bawah rezim Presiden Soekarno (1945-1966) dan rezim kedua Presiden Soeharto (1966-1998) yang menahan kebebasan berbicara. Meskipun era reformasi Mei 1998 memberi kebebasan berbicara untuk mengekspresikan opini yang beragam, ini adalah fenomena atau transisi yang relatif baru era demokrasi di Indonesia (Rasul, Rahim, & Salman, 2015). Ketiga, sangat sedikit studi publikasi internasional public relations dari perspektif Indonesia (Hobart, 2006; Kriyantono, 2014; Raharjo, 2013), dan, sebagai akibatnya, tidak ada dasar umum. Keempat, karena bahasa Inggris adalah bahasa yang dominan dari penelitian komunikasi, orientasi Anglophone telah mendominasi penelitian. Akhirnya, karena banyak sarjana Indonesia telah belajar di negara-negara Barat, seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Perancis atau Jerman mereka telah terpengaruh perspektif Barat. Yusoff dan Hanafiah (2015) menyatakan bahwa perspektif Barat telah mempengaruhi perspektif lokal melalui pendidikan, hiburan, dan teknologi komunikasi.
Kearifan Lokal Adalah Empirik dan Pragmatis
Kearifan lokal adalah pengalaman lokal dan ide-ide dari kebijaksanaan dan kebaikan nilai-nilai yang terinternalisasi di antara generasi dalam suatu masyarakat tertentu (Radmilla, 2011). Nilai-nilai tersebut tertanam sebagai moral yang dipatuhi oleh masyarakat sebagai dasar harmoni. Kearifan lokal dikembangkan dari kesadaran komunal yang muncul dari interaksi sosial yang diakumulasi dan mengkristal menjadi doktrin moralitas (kode etik). Doktrin-doktrin ini biasanya disebarkan melalui berbagai saluran komunikasi tradisional, seperti legenda, dongeng, cerita rakyat, komunikasi word of mouth (Indonesia: gethok tular), drama tradisional, lagu, dan peribahasa. Kearifan lokal telah menjadi tradisi untuk membimbing kehidupan masyarakat karena  dibangun dari integrasi nilai-nilai dan budaya masyarakat, sistem kepercayaan teistik, dan aspek geografis (Kriyantono, 2014). Sistem kepercayaan diwakili oleh pepatah Iduik bajaso, mati bapusako (artinya: hidup untuk rendering layanan, mati untuk memiliki pusaka). Dalam kegiatan public relations, kearifan lokal ini harus menjadi dasar untuk mengembangkan kegiatan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) dan pemasaran sosial perusahaan, kegiatan yang melakukan hal-hal yang baik dan bermakna bagi masyarakat.
Kearifan lokal Indonesia adalah panduan untuk komunikasi dan interaksi dalam masyarakat Indonesia sebab hal tersebut dibangun dari sistem kepercayaan, nilai-nilai budaya dan geografi masyarakat setempat. Kearifan lokal adalah empiris dan panduan pragmatis untuk memecahkan masalah. Gagal untuk menggabungkan kearifan lokal masyarakat adat dan praktek nya dalam teori dan praktek public relations di Indonesia berarti bahwa teori dan praktek tersebut akan relatif tidak efektif karena tidak ketidakrelevanannya. Lebih buruk lagi, jika teori berdasarkan Dunia Barat dan prakteknya efektif, maka hasilnya akan menjadi erosi lebih lanjut dari budaya asli dan peningkatan hegemoni budaya Barat, praktek, sistem kepercayaan, dan ideologi.
Hasil dan Diskusi
Terdapat lima tema yang muncul dari kearifan local di Indonesia. Kelima konsep tersebut menjadi kearifan lokal selama berabad-abad, oleh karena itu, konsep tersebut harus dipromosikan untuk mengembangkan teori public relations yang relevan dengan budaya Indonesia.
a. Musyawarah mufakat sebagai penentuan keputusan di Indonesia  
Tampaknya kearifan lokal Indonesia konsisten dengan model simetris dua arah. Model ini, seperti yang dijelaskan dalam Model Excellent Public Relations (JE Grunig, 1989, 2008; JE Grunig & Hunt, 1984) dan dialogis Humas Teori (Kent & Taylor, 2002), mengusulkan bahwa public relations memainkan dua peran sekaligus: satu di sisi manajemen, lain di sisi publik dengan semangat untuk membangun kompromi. Public relations memfasilitasi penyebaran informasi kepada masyarakat secara langsung dan berbicara kepada manajemen tentang kebutuhan masyarakat. Fungsi komunikasi sebagai negosiasi dan kompromi alat untuk menciptakan solusi yang saling memuaskan. Model tersebut sesuai dengan perspektif Indonesia yaitu musyawarah mufakat / rembugan, pengambilan keputusan dengan dialog. Menurut Pancasila, lima filosofi dasar prinsip dimasukkan ke dalam konstitusi Indonesia, musyawarah mufakat, adalah strategi utama untuk membuat keputusan daripada voting. Ini adalah kebalikan dari kekuasaan mayoritas yang terjadi di sebagian besar negara perspektif Barat di mana bentuk proses demokrasi lebih mewakili berbagai pendapat. Dengan demikian, di Jawa, keputusan (seperti dalam masyarakat atau pemerintah daerah) biasanya tidak didasarkan pada mayoritas namun berdasarkan perjanjian. Nenek moyang mengajarkan yen ana rembug dirembug, nanging olehe ngrembug Kanthi ati bernyanyi sareh, memecahkan masalah melalui dialog dengan tenang, sabar, dan berpikir jernih (dialog = rembug atau musyawarah).
b. Menjaga hubungan timbal balik yang didasarkan pada harmoni dalam sistem
Sebagai bagian dari sistem sosial, proses public relations harus mengarahkan organisasi untuk mencapai harmoni dalam sistem di mana ia beroperasi. harmoni ini dikenal sebagai runtut raut sauyunan, yaitu hidup rukun dan damai bersama-sama; rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, guyub rukun, yaitu, jika kita hidup dalam damai dan harmoni kita akan makmur, jika kita hidup dalam pertengkaran kita akan menderita. Organisasi harus rampa’naong beringin korong berdaun dan teduh, yaitu organisasi melindungi masyarakat seolah-olah itu adalah pohon beringin untuk membuat hidup harmonis, solidaritas, dan merangsang swadaya masyarakat (gotong royong).
Sebuah strategi komunikasi yang berhubungan dengan masyarakat dari perspektif Indonesia bisa dilakukan dengan menerapkan pepatah dari silih asah, silih asih, silih asuh (mengajar, cinta, dan menjaga satu sama lain). Hasil asah silih dalam memberikan informasi secara teratur melalui dua saluran timbal balik. Informasi ini terdiri dari setiap upaya untuk mendidik dan memotivasi masyarakat untuk mendukung organisasi. Namun, sebelum menyebarkan informasi, PR harus mengeksplorasi kebutuhan masyarakat dengan melakukan penelitian. Itu sebabnya, silih asah merangsang hubungan masyarakat untuk melakukan kegiatan berdasarkan rasional-ilmiah: penelitian dan dialog sehingga PR “berdasarkan fakta” ​​(Newsom et al., 1993).
c. Perspektif Indonesia mengenai Deklarasi Prinsip (Tell the truth)
Mengatakan sesuatu berdasarkan prinsip kebenaran adalah dasar dalam praktik public relations untuk membangun kepercayaan (J. E. Grunig & Hunt, 1984; Lattimore et al, 2007.). Perspektif Indonesia mengatakan ajining diri dumunung ana ing lathi dan basa iku busananing bangsa, yaitu kehormatan pribadi adalah pada kata-kata seseorang. Dengan memberikan terbuka, informasi yang benar, sebuah organisasi akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi dan untuk mendapatkan kepercayaan publik yang akan merangsang dukungan publik dan kerjasama. Pentingnya mengatakan hal yang sebenarnya direpresentasikan dalam jeung leweh mah memperbaiki waleh (lebih baik untuk mengatakan sesuatu terus terang daripada menjaga kata karena tidak cukup berani untuk memberitahu). Pandangan Indonesia adalah bahwa mengatakan kebenaran harus sejalan dengan harmoni. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, kepercayaan Indonesia di atunggal loro-loroning atau prinsip monodualism (Purwadi, 2011) menganggap bahwa jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan. kearifan lokal ini juga muncul dalam praktek hubungan masyarakat. Misalnya, ketika penerbangan Air Asia 8501 dari Surabaya di Indonesia ke Singapura jatuh ke Laut Jawa dengan memakan korban 162 orang di 28 Desember 2014. wartawan mencari informasi rinci tentang tubuh penumpang yang sedang diambil. Namun, juru bicara polisi mengatakan bahwa dia tidak bisa menyampaikan informasi secara rinci untuk menghormati keluarga penumpang. Dapat dikatakan bahwa penolakan untuk memberikan informasi detail mengenai kondisi penumpang mayat dihormati kebanyakan keluarga dengan keyakinan bahwa individu tidak dapat dipisahkan dari keluarga (hubungan darah) karena prinsip-prinsip keutuhan dan kesatuan publik.
d. Blusukan sebagai alat fasilitator komunikasi
Teori barat halo effect dan the primacy effect memiliki kesejajaran dengan keyakinan Indonesia. Efek halo berarti bahwa persepsi kita terhadap suatu benda atau orang dipengaruhi oleh kinerja fisik objek, sedangkan efek keutamaan berarti bahwa persepsi kita sangat dipengaruhi oleh gambar pertama dari objek atau orang. Dalam hal ini, perilaku anggota semua organisasi berkontribusi untuk mengkomunikasikan citra publik organisasi. Oleh karena itu, semua orang adalah public relations dan Anda adalah PR pada diri anda sendiri. Menurut Kriyantono (2014), perspektif Indonesia menawarkan penjelasan serupa melalui ajining raga ana ing busana (secara fisik, kehormatan pribadi dapat dilihat dengan cara berdandan). perspektif menunjukkan bahwa bagaimana penampilan public relations akan mempengaruhi citra public.
Blusukan mirip dengan konsep Barat “managing by walking around” karena fungsi mereka adalah  gethok tular; Namun perspektif Indonesia lebih berfokus pada aspek emosional, seperti sambung roso, untuk membangun hubungan.
Dengan melakukan blusukan, public relations mampu menghasilkan gethok tular (komunikasi word of mouth) secara langsung untuk menyebarkan informasi dari manajemen untuk meminimalkan kesalahan persepsi. Secara internal, public relations ditempatkan untuk menghentikan rumor yang tidak akurat yang menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut dalam sebuah organisasi. Public relations memonitor lingkungan mengadopsi peran masalah manajemen untuk mengantisipasi krisis dengan menanyakan apa yang terjadi. Perspektif Indonesia mengatakan Jaga pagarra dibi'ja’parlo ajaga pagarra oreng laen (menjaga gerbang Anda sendiri, jangan terus lainnya), yaitu jika krisis terjadi, organisasi seharusnya tidak menyalahkan pihak lain.

Perspektif Lokal Terhadap Dua Preposisi Dasar
Public Relations memiliki dua proposisi: (1) Public relations sebagai fungsi manajemen; (2) PR bertanggung jawab untuk mengelola hubungan antara organisasi dan publik. Hal ini dikenal sebagai paradigma ekologi karena proposisi-proposisi ini membutuhkan adaptasi, seleksi, dan penyesuaian (Cutlip, Center, & Broom, 2006; Everett, 2009). Cutlip (1952, dikutip dalam Cutlip et al, 2006;. Everett, 2009; Greenwood, 2010) telah menggunakan konsep ekologi ketika ia didefinisikan public relations sebagai saling ketergantungan (menyesuaikan & beradaptasi) antara organisasi dan lingkungannya. Adaptasi dan penyesuaian, umumnya, adalah pemikiran dasar dari masyarakat Indonesia yang diinternalisasikan sebagai karakter filosofis masyarakat.
Indonesia memiliki karakteristik Asia yang menekankan tanggung jawab timbal balik antara individu dan masyarakat, selaras dengan lingkungan, dan dengan asumsi bahwa dunia adalah saling berhubungan dan saling tergantung secara keseluruhan. Selama berabad-abad, banyak dari kearifan lokal Indonesia telah didasarkan pada pentingnya adaptasi dan penyesuaian, seperti jip kang sui suan, jip koi sui nyak, (Jika Anda memasukkan sungai untuk berenang atau pengiriman, Anda harus mengikuti kurva, memasuki desa mengikuti adat istiadat; sai bumi Ruwa jurai (satu bumi untuk dua komunitas yang berbeda); teposliro (perasaan empati); dima nagari diunyi, disitu Dipakai adat (di mana pun Anda tinggal, Anda harus mengikuti adat istiadat) Secara kolektif, kearifan local ini berarti. bahwa individu harus menghormati budaya lokal tanpa kehilangan budaya sendiri, agar berhasil beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan. Organisasi harus mengembangkan teposliro (sikap merasa perasaan publik). Prinsip teposliro diwakili dalam rumongso pepatah ojo biso, kudu biso rumongso (Jangan merasa bahwa Anda bisa, tetapi Anda harus dapat merasakan). 

Kesimpulan

Dapat dibuktikan bahwa public relations dalam konteks Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan kearifan lokal. Jadi tidak perlu mengadopsi seluruh prinsip-prinsip Barat ke dalam teori atau praktek. Oleh karena itu artikel ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan teori public relations dari perspektif Timur, khususnya Indonesia. Dengan cara ini, budaya dan tradisi, dan norma-norma moral suatu negara dapat dipertahankan meskipun negara itu dapat mengalami transformasi cepat menuju perekonomian dan gaya hidup yang lebih Barat. Dengan membatasi proses hegemoni teori dan praktik Barat, tatanan global yang lebih beragam dan penuh hormat dimungkinkan.

Daftar Pustaka

Kriyantono, R. (2014). Teori public relations, perspektif barat dan lokal . Jakarta:     Prenadamedia
Kriyantono dan McKenna. (2017). “Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for 
Indonesia". (Online) Jilid 33, http://ejournal.ukm.my/mjc/article/view/17165 diakses 9 April 2017




Older Post | Newer Post

Entries About Stuff Linkies


Hello there earthlings! You have stepped onto Enchance-me. My name is Anita Christina. I'm the writer of this blog! Do follow, thanks.
Twitter




Leave a Footprint here and no harsh words please:) Thank you.


>>!Notes!<<



Header by: Amirah
Template edit by: Faiz
Background by: Fazeera
Basecode by: Lettha
Cursor by: Anita Christina