Monday, March 13, 2017 | 9:55 AM | 0 comments
(Cognitive Dissonance Theory dan Kaitannya dengan Studi Kasus Kampanye Iklan Grab #PilihAman)
Nama Kelompok :
Anita Putri
Christina 155120201111074
Silvia Aria W. 155120201111079
PROGRAM
STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2017
I.
PENDAHULUAN
Cognitive Dissonance Theory diciptakan oleh Leon
Festinger pada tahun 1957. Disonansi secara terminologis dapat diartikan
sebagai ketidakkonsistenan atau ketidaksesuaian atau ketidakseimbangan antara
kepercayaan yang diyakini (kognisi) dengan tindakan yang dilakukan yang pada
akhirnya membuat ketidaknyamanan perasaan (Kriyantono, 2014: 289). Pemahaman
terhadap teori cognitive dissonance ini sangat penting bagi seorang praktisi public relations dalam upaya mempersuasi
public. Prinsip utamanya adalah persuasi akan berhasil jika level dissonansi
berkurang.
Dalam praktik,
public relations menggunakan iklan
kampanye sebagai sarana untuk mempersuasi publik. Persuasi iklan tersebut akan
berhasil apabila level disonansi yang dirasakan oleh penonton berkurang.
Sebaliknya, iklan kampanya juga dapat meningkatkan level disonansi seseorang
apabila strategi yang digunakan tidak efektif. Oleh karena itu, praktisi public relations dapat menggunakan
Cognitive Dissonance Theory ini untuk merencanakan pesan persuasive seefektif
mungkin dengan mendasarkan pada situasi yang dirasakan target sasaran.
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan teori
Cognitive Dissonance dalam praktek Public Relations. Aplikasi teori cognitive
dissonance dijelaskan melalui kasus kampanye Grab bertajuk #PilihAman yang
tayang dalam bentuk video iklan di media Youtube. Manfaat dari makalah ini adalah
memberikan pemahaman mengenai teori Cognitive Dissonance dan kaitannya dengan studi
kasus dalam upaya mempersuasi publik.
II.
DESKRIPSI
KASUS
Untuk menjelaskan praktek Teori Cognitive Dissonance
dalam Public Relations, maka penulis mengangkat kasus Kampanye Grab bertajuk
#PilihAman yang tayang dalam bentuk video iklan di media Youtube. Video
tersebut mendapat banyak komentar negatif dan jumlah dislike yang lebih banyak daripada jumlah like. Berita tersebut tidak hanya muncul di satu media tetapi juga
beberapa media. Berikut keterangan dari beberapa media online.
Iklan Grab yang diunggah pada Bulan 18 September 2016 menayangkan seorang gadis bernama “Dinda” dengan sekujur tubuh penuh darah dan luka akibat kecelakaan. Untuk menjelaskan konteksnya,ada voice over lelaki yang berperan sebagai ayah Dinda mengatakan bahwa Dinda beresiko mengalami kecelakaan jika tidak memilih transportasi yang aman. Selain itu juga terdapat adegan dua tukang ojek konvensional yang memanggil Dinda, tetapi Dinda memilih membuka aplikasi Grab dan memesan ojek melalui GrabBike. Iklan ini seolah memperingatkan jika Dinda memilih ojek konvensional maka ia akan mengalami kecelakaan, namun dengan memilih GrabBike, ia bisa aman.
Dalam media cnnindonesia.com, dijelaskan
bahwa kampanye Grab #PilihAman mendapat sambutan negatif karena menampilkan
gambar seorang perempuan remaja penuh luka dan darah seperti baru mengalami
kecelakaan. Iklan menuai kritik dari penonton karena menampilkan visual yang
berlebihan dan memberi kesan bahwa ojek pangkalan sebagai biang dari
kecelakaan. Video kampanye tersebut mendapat jumlah dislike yang lebih banyak daripada jumlah like. Jumlah dislike sebanyak 1.270 sedangkan jumlah like sebanyak
981 dari 994 ribu penonton. Seperti diberitakan dalam cnnindonesia.com, banyak
penonton yang memberi komentar negatif diantaranya komentar akun Danang
Yulianto yang berkata, “gak setuju gue sama iklan ini. Ngejelekin ojek
pangkalan banget kayaknya”. Selain itu, akun Aya Nabila juga memberi komentar,
“this is so insensitive, rude, and unethical. Really???”.
Gambar 3 Berita dari Media Online
Kompas.com
Berita lainnya dari kompas.com melansir bahwa netizen menganggap kampanye tersebut tidak etis karena menjelekkan ojek pangkalan padahal beberapa orang merasakan pengalaman tidak aman menaiki GrabBike seperti komentar salah satu seorang netizen bernama Akbar Navindra yang berkata “Jika ingin buat iklan mohon disesuaikan dengan realitanya. Karena saya lihat setiap harinya driver GrabBike yang ugal-ugalan dan kadang melanggar lalu lintas (literally lampu merah)”. Selain itu, netizen juga menilai iklan tersebut tidak baik ditonton anak dibawah umur karena luka bekas kecelakaan pemeran dalam video dianggap mengerikan untuk menjadi konsumsi visual anak-anak. “Iklannya gak jelas! Terlalu mengerikan buat anak-anak, inikan iklan untuk universal, kok idiot banget ya yang bikin konsep sama story boardnya?,” kata seorang netizen. Menanggapi video kampanye #PilihAman, salah seorang netizen mengatakan telah melaporkan iklan Grab ke Youtube dan beberapa telah menghapus aplikasi Grab di smartphone.
Gambar 4 Berita dari Media Online
liputan6.com
Liputan6.com menjelaskan bahwa tiga hari setelah diunggahnya video kampanye #PilihAman, Grab mengganti video dengan menghapus adegan berdarah sehingga total durasi iklan berkurang menjadi 16 detik dari yang semula berdurasi 45 detik. Merespon adanya video tersebut, Mediko Azwar selaku Marketing Director Grab Indonesia berharap agar masyarakat lebih fokus terhadap pesan utama lewat penggantian video tersebut. “Kami paham video tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan dipandang mengerikan bagi sebagian orang. Tujuan kami bukanlah menakut-nakuti melainkan mengilustrasikan konsekuensi yang mungkin terjadi jika kita mengkompromikan standar keselamatan. Kami harap video ini dapat mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap aspek keselamatan mengingat kendaraan roda dua sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari,” ungkap Mediko. Beliau juga menjelaskan bahwa sejak awal, video kampanye #PilihAman dibuat untuk mendorong kesadaran untuk meningkatkan standar keselamatan jalan di Indonesia.
III.
PERMASALAHAN
1. Masyarakat
(netizen) menilai iklan GrabBike #PilihAman mengandung unsur menjelekkan ojek
pangkalan serta memberi kesan bahwa ojek pangkalan sebagai biang dari
kecelakaan. Iklan GrabBike #PilihAman menampilkan seorang wanita penuh luka
disekujur tubuhnya yang dinilai masyarakat tidak etis untuk ditampilkan dan
dilihat oleh anak di bawah umur.
2. Masyarakat
merasa bahwa driver GrabBike juga
seringkali melanggar peraturan lalu lintas dan ugal-ugalan dimana tidak relevan
dengan kampanye yang diangkat yaitu #PilihAman dan iklan yang ditampilkan.
3. Iklan
kampanye GrabBike menghasilkan tanggapan negatif yang menyebabkan beberapa
orang menghapus aplikasi Grab dari smartphone
dan persuasi video kampanye yang awalnya dibuat untuk mendorong kesadaran
meningkatkan standar keselamatan jalan menjadi gagal dipersepsi.
IV.
LITERATURE
REVIEW
Teori disonansi
kognitif pertama kali dikemukanan oleh Leon Festinger pada tahun 1057. Teori
disonansi kognitif sendiri memusatkan perhatian pada reaksi individu terhadap
kondisi mental yang inkosisten, yaitu terjadi ketidaksesuaian antara kognisi sebagai
aspek sikap dan perilaku yang terjadi pada diri seseorang (Kriyantono, 2014:
290). Ketidaksesuaian (inkonsistensi) disebut disonansi, yaitu “saat
individu mengerjakan sesuatu yang tidak
sesuai dengan pengetahuannya atau mempunyai opini yang tidak sesuai dengan
opini sebelumnya yang dia punyai” (Festinger, 1957 dikutip di Kriyantono, 2014:
290). Disonansi itulah yang membuat individu memiliki perasaan yang tidak
nyaman, yang kemudian individu tersebut termotivasi mengambil solusi untuk
mengurangi dan menghindari sesuatu yang menyebabkan rasa ketidaknyamanan
tersebut.
Festinger (1957,
dikutip di Kriyantono, 2014: 292) membangun teori disonansi kognitif ini
berdasarkan asumsi dasar bahwa individu mempunyai skemata yang artinya sistem
di dalam kognisi seseorang yang bertugas untuk menyimpan dan mengolah
informasi. Individu akan merasa seolah-olah informasi yang pernah didapatnya
merupakan pengalaman hidup individu itu. Saat ada informasi baru yang datang,
setiap individu akan mencocokkan dengan data di skematanya untuk memahami
informasi baru itu (Kriyantono, 2014: 292). Dalam kasus iklan kampanye GrabBike
#PilihAman ini terjadi ketidaksesuaian (disonansi) yang membuat masyarakat
tidak nyaman. Masyarakat mendapat informasi dari iklan tersebut bahwa ojek
pangkalan merupakan sarana transportasi yang tidak aman yang menyebabkan
kecelakaan. Setelah menerima informasi tersebut masyarakat mempunyai persepsi
yang buruk tentang ojek pangkalan. Persepsi masyarakat tentang ojek pangkalan
yang didapat dari iklan kampanye #PilihAman GrabBike merupakan skemata
informasi yang tersimpan di skemata.
Zimbardo,
Ebbesen & Maslach (1977, Dainton & Zelley, 2005 dan West & Turner,
2007, dikutip di Kriyantono, 2014: 293) memperkenalkan konsep mengenai magnitude of dissonance, yaitu level di
mana beberapa disonansi menghasilkan perbedaan ketidaknyamanan bagi orang yang
satu dengan orang yang lain, dengan kata lain terdapat hal yang mempengaruhi
perbedaan level disonansi pada setiap individu. Level disonansi dipengaruhi
empat varibel, yaitu:
1. Persepsi
terhadap pentingnya isu (perceived
importance)
Setiap individu mempunyai persepsi
tersendiri akan penting atau tidaknya suatu isu. Dalam kasus iklan kampanye
GrabBike #PilihAman ini memunculkan level disonansi yang tinggi dilihat dari
banyaknya tanggapan negatif masyarakat sehingga persuasi tidak berjalan lancar.
2. Rasio
disonansi (dissonance ratio)
Rasio disonansi adalah rasio
perbandingan antara disonan dan konsonan, yang akhirnya memengaruhi jumlah
ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang. Dapat dikatakan bahwa yang
memengaruhi rasio disonansi ada dua hal, yaitu penting tidaknya elemen kognitif
(seperti sikap, persepsi, pengetahuan) dan banyak tidaknya jumlah elemen dalam
relasi disonansi (Littlejohn & Foss, 2005, dikutip di Kriyantono, 2014:
293). Jika individu mempunyai banyak hal yang inkosisten dan semuanya penting
bagi individu tersebut, maka individu akan mengalami disonansi yang makin
tinggi.
3. Rasionalisasi
(rationalization)
Rasionalisasi adalah upaya
penjustifikasian (pembenaran), yaitu upaya seseorang mencari dalih pembenar
untuk mengurangi disonansi yang dia rasakan. Jika seseorang semakin mampu
membuat pembenaran atas konflik kognisi dan perbuatan yang dialaminya, maka dia
merasa ketidaknyamanannya bisa semakin dikurangi.
4. Proses
persepsi (perceptual process)
Proses persepsi dapat menentukan
upaya seseorang untuk mengurangi upaya disonansi. Proses persuasi mencakup:
a. Seleksi
terpaan pesan (selective exposure),
yaotu seseorang biasanya menyeleksi informasi yang dianggap inkonsisten dengan
kepercayaan yang sudah di dalam skematanya atau perbuatan yang biasa
dilakukannya. Contohnya, sebelum membeli laptop, individu banyak berkunjung ke
took laptop dan membaca brosur laptop. Sesudah membeli suatu merek laptop, bisa
jadi individu tersebut memutuskan untuk tidak berkunjung atau membaca brosur
untuk menghindari disonansi.
b. Seleksi
perhatian (selective attention),
yaitu seseorang akan lebih memperhatikan pesan-pesan yang sesuai atau
meneguhkan kepercayaannya.
c. Seleksi
mengingat (selective retention),
seseorang akan cenderung mengingat-ingat informasi yang sesuai dengan apa yang
diyakininya selama ini, dan lebih mudah melupakan informasi yang menimbulkan
disonansi. (Zimbardo, dkk., 1977, dikutip di Kriyantono, 2014: 293-295).
Teori disonansi kognitif ini perlu dipahami oleh praktisi PR (Public Relations) karena
teori ini bisa membuat praktisi PR untuk lebih berhati-hati dalam mempersuasi
publiknya, yaitu dengan memperhatikan inkonsistensi antara kognisi dan perilaku
yang terdapat dalam kampanye PR. Praktisi PR berhasil mempersuasi publiknya
apabila level disonansi berkurang dimana kampanye menjadi upaya untuk
mengurangi disonansi. Dalam konteks teori ini, jika individu mengubah salah
satu dari kognisinya atau perilakunya, maka berarti dia telah terpersuasi
(Kriyantono, 2014: 295). Dalam kasus ini, pesan kampanye yang dibuat tidak
mampu ditangkap masyarakat dengan baik karena masyarakat terfokus dengan konten
video yang menunjukkan luka bekas kecelakaan yang kurang pantas untuk
ditampilkan sebagai konsumsi visual, selain itu masyarakat juga berfokus pada
adegan ojek pangkalan yang terkesan dijelekkan. Padahal kampanye iklan yang
ingin ditujukan adalah mendorong
masyarakat untuk lebih peduli terhadap aspek keselamatan. Maka dari itu, pesan
persuasi yang dirancang tidak mampu mencapai tujuan awal.
Pesan kampanye juga dapat didesain dengan metode
mengubah kognisi atau perilaku lama (Kriyantono, 2014: 295). Praktisi PR dapat
terlebih dahulu merangsang publiknya sehingga terjadi disonansi lalu memberi
informasi baru yaitu berupa solusi terbaik. Selain itu pesan kampanye juga
dapat efektif jika dapat meningkatkan level konsonan dengan metode memberikan
informasi yang bersifat meneguhkan/membenarkan kognisi atau perilaku lama
(Kriyantono, 2014: 296).
V.
ANALISIS
Berdasarkan kasus kampanye #PilihAman Grab, kampanye
ini memiliki tujuan awal untuk menyampaikan pesan tetang keselamatan dalam
berkendara, namun alih-alih menyadarkan penonton untuk berhati-hati dalam
berkendara, kampanye ini justru membuat level disonansi penonton tinggi yang
membuat mereka berkomentar negatif. Perilaku netizen pada kolom komentar melalui akun youtube dan twitter, pelaporan iklan Grab ke Youtube dan netizen yang menghapus aplikai Grab di smartphone dapat
diartikan sebagai perilaku untuk mengembalikan kondisi mental yang tidak
seimbang antara kepercayaan yang diyakini dengan tindakan yang dilakukan.
Terjadinya hal tersebut diyakini karena penyebab sebagai berikut:
a. Perancangan
pesan persuasive yang menanggung ancaman yang mengganggu kepentingan publik
Iklan menuai kritik dari penonton karena
menampilkan visual yang berlebihan. Hal tersebut bisa dilihat pada bagian
deskripsi kasus dilansir dari media online kompas.com yang mengatakan bahwa netizen
menilai iklan tersebut tidak baik
ditonton anak dibawah umur karena luka bekas kecelakaan pemeran dalam video
dianggap mengerikan untuk menjadi konsumsi visual anak-anak. “Iklannya gak
jelas! Terlalu mengerikan buat anak-anak, inikan iklan untuk universal, kok
idiot banget ya yang bikin konsep sama story boardnya?,” kata seorang netizen.
Selain itu kampanye memberikan kesan bahwa jika model iklan memilih
ojek konvensional, maka akan mengalami kecelakaan namun dengan memilih GrabBike
ia bisa aman. Hal tersebut ditunjukkan dalam deskripsi kasus yang menjelaskan
bahwa terdapat adegan dua tukang ojek konvensional yang memanggil Dinda, tetapi
Dinda memilih membuka aplikasi Grab dan memesan ojek melalui GrabBike.
Dalam kampanye iklan #PilihAman, Grab
memilih pendekatan negatif, yakni apa akibat yang dapat dihadapi penumpang jika
tidak selamat dalam berkendara.Grab menggambarkan pendekatan negatif itu lewat
kecelakaan yang dapat dialami sang model iklan hingga berujung pada luka dan
penuh darah. Hal tersebut yang menimbulkan kontroversi dan menimbulkan
banyaknya komentar negatif di media sosial twitter dan Youtube.
b. Kampanye
tidak sesuai dengan realita.
Pesan
persuasive yang baik yaitu pesan yang menawarkan solusi yang dapat menjembatani
ketidaksesuaian antara kepercayaan (kognisi) dan perilaku target sasaran
persuasi. Namun, justru
sebaliknya, netizen merasakan efek dissonancy (ketidaksesuaian) kampanye
Grab mengenai keselamatan berkendara dengan pengalaman netizen yang
merasa tidak aman menaiki GrabBike seperti komentar salah satu seorang netizen
bernama Akbar Navindra yang berkata “Jika ingin buat iklan mohon disesuaikan
dengan realitanya. Karena saya lihat setiap harinya driver GrabBike yang
ugal-ugalan dan kadang melanggar lalu lintas (literally lampu merah)”. Oleh
karena itu, bisa disimpulkan bahwa video iklan kampanye yang semula ditujukan
untuk memberi awareness mengenai keselamatan berkendara menjadi tidak
tersampaikan karena beberapa khalayak menilai bahwa kampanye tidak sesuai
dengan realita.
Video kampanye Grab pada awalnya
ditujukan untuk mendorong kesadaran
meningkatkan standar keselamatan jalan di Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan
dalam bagian deskripsi kasus mengenai pernyataan Mediko Azwar selaku Marketing Director Grab
Indonesia yang berharap agar masyarakat lebih fokus terhadap pesan utama lewat
penggantian video tersebut. “Kami paham video tersebut menimbulkan
ketidaknyamanan dan dipandang mengerikan bagi sebagian orang. Tujuan kami
bukanlah menakut-nakuti melainkan mengilustrasikan konsekuensi yang mungkin
terjadi jika kita mengkompromikan standar keselamatan. Kami harap video ini
dapat mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap aspek keselamatan
mengingat kendaraan roda dua sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari,”
ungkap Mediko.
Dapat disimpulkan bahwa iklan tersebut menimbulkan salah
persepsi akibat konten video yang kurang etis untuk ditampilkan sehingga
menimbulkan disonansi yang membuat individu memiliki perasaan tidak nyaman,
kemudian individu tersebut termotivasi mengambil solusi untuk mengurangi dan
menghindari sesuatu yang menyebabkan rasa ketidaknyamanan tersebut. Dalam kasus
tersebut, masyarakat yang merasakan efek disonansi menunjukkan perilakunya
dengan berkomentar di youtube dan twitter. Selain itu, mereka juga berusaha
mendapatkan conssonance dengan cara menghapus aplikasi Grab dari smartphone dan
juga melaporkan video kepada pihak youtube.
VI. Rekomendasi
Menurut Kriyantono (2014), praktisi public relations mesti menyadari, bahwa
setiap informasi yang disampaikannya kepada publik, akan dianggap sebagai
informasi baru oleh publiknya. Kemudian, publik membandingkan dengan informasi
yang berada di skematanya, maka dari itu agar pesan persuasive diterima,
mengadopsi pemikiran Kim Harrison (2008, dikutip di Kriyantono, 2014: 296),
maka dalam membuat pesan persuasive praktisi public relations harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:
a. Buatlah
pesan persuasif yang memiliki kegunaan bagi khalayak.
b. Buatlah
pesan persuasif yang mengandung kejujuran dan tidak bersifat manipulatif.
c. Buatlah
pesan persuasif yang mampu menarik perhatian khalayak sehingga dianggap sebagai penting dan
bernilai.
d. Buatlah
pesan persuasif yang dianggap tidak mengandung ancaman yang mengganggu
kepentingan khalayak. Karena itu, individu cenderung bisa mengakomodasi
terhadap pesan persuasif yang disampaikan oleh seseorang yang mereka kenal dan
sukai.
Dari kasus video kampanye iklan Grab #PilihAman,
yang dilakukan oleh perusahaan Grab agar kasus yang serupa tidak terulang
kembali yaitu dengan merancang strategi pesan kampanye dengan matang dari segi
konten video agar pesan persuasif bisa tersampaikan ke masyarakat dan tidak
menimbulkan salah persepsi. Konten video yang baik yaitu melalui tontonan
adegan yang memiliki nilai guna bagi khalayak dan tidak menjelekkan competitor
lainnya. Praktisi public relations
dapat menggunakan teori Cognitive Dissonance bagi pembuatan kampanye dengan
merencanakan pesan seefektif mungkin. Adapun pesan persuasif yang baik yaitu
pesan yang dapat menjembatani ketidaksesuaian atau dissonance antara kognisi
(kepercayaan) dengan perilaku target sasaran persuasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Agung,
Bintoro. (2016). Tampilkan Luka dan
Darah, Iklan GrabBike Tuai Kontroversi. Diakses pada 11 Februari 2017 dari http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160920130755-185-159628/tampilkan-luka-dan-darah-iklan-grabbike-tuai-kontroversi/.
Anestia,
Corry. (2016). Iklan Diprotes Netizen,
Grab Akhirnya Hapus Adegan Berdarah. Diakses pada 11 Februari 2017 dari http://tekno.liputan6.com/read/2606994/iklan-diprotes-netizen-grab-akhirnya-hapus-adegan-berdarah.
Bohang,
Fatimah K. (2016). Iklan #PilihAman Grab
Dikecam"Netizen". Diakses pada 11 Februari 2017, dari http://tekno.kompas.com/read/2016/09/20/07562837/iklan.pilih
aman.grab.dikecam.netizen.
Kriyantono,
Rachmat. (2014). Teori Public Relations,
Perspektif Barat dan Lokal. Jakarta: Prenadamedia.